JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) digelar Mahkamah Konstitusi pada Kamis (16/1/2020).
Pasal 7 UU No. 3/2009 menyebutkan, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat: a. hakim karier: 1. warga negara Indonesia; 2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; 4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; 5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban; 6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan 7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. b. nonkarier: 1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5 …”
Sedangkan Pasal 11 UU No. 3/2009 berbunyi, “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan Hakim Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena: a. meninggal dunia; b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; c. atas permintaan sendiri secara tertulis; d. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.”
Menurut Pemohon, ketentuan pasal undang-undang tersebut telah menyebabkan terjadinya diskriminasi karena terdapat pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, namun tidak berlaku bagi masa jabatan hakim agung.
“Bahwa jika seseorang terpilih menjadi hakim agung pada saat berusia 45 tahun, maka kemungkinan besar yang bersangkutan akan berkuasa selama 25 tahun dikarenakan usia pensiun hakim agung adalah 70 tahun,” kata Aristides Verissimo de Sousa Mota selaku Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XVIII/2020 ini.
Berangkat dari hal-hal tersebut, dalam petitum Pemohon meminta kepada Mahkamah agar memutuskan masa jabatan hakim agung selama lima tahun, dapat dipilih kembali paling lama lima tahun atau satu periode. Dengan demikian, masa jabatan hakim agung maksimal 10 tahun.
Terhadap permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim Anwar Usman mencermati aspek teknis penulisan permohonan. Misalnya, sistematika permohonan yang masih harus dibenahi dan harus sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi. “Paling tidak, Pemohon dapat mempelajari contoh-contoh permohonan yang sudah sering bersidang di MK,” nasihat Anwar.
Selain itu, menurut Anwar, penggunaan kata ‘gugatan’ dalam permohonan Pemohon kurang tepat. Penggunaan kata ‘gugatan’ lebih tepat untuk perkara pidana. Sedangkan di MK menggunakan kata ‘permohonan’ untuk pengujian norma sebuah undang-undang.
Sedangkan Anggota Panel Hakim, Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon sebaiknya berkonsultasi dengan orang yang paham hukum termasuk mengenai Hukum Acara MK. “Pemohon juga harus menguraikan posisinya, apakah sebagai perorangan atau sebagai badan hukum. Kemudian wajib menguraikan dengan jelas kerugian konstitusional Pemohon dan alasan-alasan pasal-pasal yang diuji dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Wahiduddin.
Sementara Anggota Panel Hakim lainnya, Suhartoyo menilai permohonan Pemohon masih terlalu sumir dan belum terlihat sebagaimana permohonan berperkara di MK. Misalnya, Suhartoyo menasehati Pemohon agar menuliskan pasal-pasal yang diuji dan undang-undangnya pada judul permohonan.
“Di samping itu harus disebutkan batu ujinya. Pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan pasal-pasal mana saja dalam UUD 1945. Kalau dalam permohonan, Bapak mengatakan ada diskriminasi, maka dicari pasal dalam UUD 1945 mengenai diskriminasi,” jelas Suhartoyo.
(Nano Tresna Arfana/NRA).
https://youtu.be/rERL4wCEJZI