JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (13/1/2020). Perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara yang hadir dengan didampingi Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum.
Pada sidang kedua ini, Victor menyebutkan beberapa perbaikan permohonan, di antaranya penambahan Pemohon atas nama Novan Lailatul Rizky yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. Perbaikan selanjutnya, sambung Victor, adalah kedudukan hukum Pemohon II yang dalam menjalankan pendidikannya aktif dalam berorganisasi sebagai Wakil Senat di Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. Di samping itu, Pemohon II pada 2014 telah menggunakan hak pilihnya, yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat yang diberikan oleh negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Selanjutnya Viktor juga menjabarkan alasan permohonan disebutkan bahwa UU Kementerian Negara tidak mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri, berbeda dengan jabatan menteri yang diatur dalam Bab V tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri yang Harus Memenuhi Syarat. “Salah satunya untuk dapat diangkat menjadi menteri seseorang harus memenuhi persyaratan, (a) Warga Negara Indonesia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila, sehat jasmani/rohani, memiliki integritas, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan. Bahkan dalam pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri, pun tidak mengatur persyaratan seseorang untuk dapat diangkat diangkat menjadi wakil menteri. Artinya, apabila mengikuti logika, apa yang tidak diatur atau tidak dilarang, itu artinya diperbolehkan,” urai Victor dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Larangan Rangkap Jabatan
Selain tidak adanya persyaratan seseorang untuk dapat menjadi wakil menteri dalam UU a quo, para emohon juga menilai bahwa terhadap jabatan wakil menteri pun tidak ada larangan merangkap jabatan. Berbeda dengan jabatan menteri yang memiliki larangan merangkap jabatan diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara. “Dengan tidak adanya larangan merangkap jabatan bagi wakil menteri mengakibatkan seseorang yang menjabat sebagai wakil menteri dapat merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau BUMN atau perusahaan swasta,” jelas Victor.
Sebelumnya Pemohon menilai bahwa Presiden Joko Widodo secara resmi melantik 12 wakil menteri pada sebelas kementerian saat 25 Oktober 2019 lalu. Keberadaan 12 wakil menteri ini dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan jabatan wakil menteri tersebut dinilai bersifat subjektif tanpa adanya kedudukan, kewenangan, dan fungsi yang jelas dalam UU Kementerian Negara. Pasalnya, pengaturan kedudukan fungsi tugas wakil menteri diatur dengan peraturan presiden. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan amar konstitusi yang menyatakan kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang wakil menteri adalah materi muatan undang-undang. Sementara dalam UU Kementerian tidak mengatur hal tersebut. Akibatnya dapat saja menimbulkan kesewenang-wenangan dengan memberikan kewenangan kepada wakil menteri tanpa melibatkan DPR sebagai representasi wakil rakyat.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menyebutkan pengangkatan 12 wakil menteri merupakan tindakan subjektif presiden yang tidak memiliki alasan urgensi yang jelas. Pemohon menilai keberadaan jabatan wakil menteri mengakibatkan negara harus menyiapkan fasilitas khusus yang hanya membuang-buang anggaran negara. Untuk itu, Pemohon meminta ketentuan norma Pasal 10 UU Kementerian Negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah. (Sri Pujianti/LA)