JAKARTA, HUMAS MKRI – Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak memiliki batasan berapa kali masa jabatan. Demikian dalil permohonan Ignatius Supriyadi yang berprofesi sebagai advokat saat memaparkan pokok permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perkawilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ignatius dalam permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 1/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Menurut Ignatius, pasal-pasal tersebut menyatakan masa jabatan anggota dewan ditentukan selama lima tahun dan berakhirnya masa jabatan ditandai dengan pengucapan sumpah/janji oleh anggota dewan yang baru. Dari ketentuan tersebut, jelas Ignatius di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (14/1/2020), secara tersirat berarti anggota dewan yang lama tidak dapat menjadi anggota baru. Dengan kata lain, anggota dewan yang lama secara otomatis berakhir dan digantikan oleh anggota baru. Konsekuensi lebih lanjut dari hal tersebut adalah anggota dewan hanya dapat dipilih untuk masa jabatan satu kali.
“Namun pemahaman tersebut tidak terjadi di dalam praktiknya. Justru ditafsirkan sebagai tidak ada pembatasan berapa kali anggota dewan dapat menduduki masa jabatannya. Itu berarti pula selamanya anngota dewan dapat menempati jabatannya tersebut sepanjang dipilih dalam proses pemilihan umum,” urai Ignatius di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Arief Hidayat.
Dengan demikian frasa “dan akhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji” menimbulkan multi-interpretasi, dan bahkan tafsir tersebut menjurus pada pengertian “tidak ada pembatasan terhadap masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.” Dengan adanya fakta tersebut, Ignatius menilai ketentuan yang telah multi-tafsirkan tersebut tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil. Seharusnya, sambung Ignatius, masa jabatan anggota dewan tersebut hanya lima tahun dan otomatis akan berakhir dengan pengucapan sumpah anggota yang baru sehingga anggota lama tidak dapat dipilih kembali. Dengan hal ini, membuka kesempatan yang luas bagi warga negara termasuk Pemohon untuk dapat menjadi anggota dewan.
Melalui Petitum, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal pada norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kalil masa jabatan.”
Argumentasi Konstitusional
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihat Mahkamah menyebutkan perlunya Pemohon dalam alasan permohonannya memperjelas argumentasi konstitusional. Sehingga secara substansi permohonan tersebut pun dapat memperkuat kedudukan hukum Pemohon, yang telah dengan baik menguraikan keterkaitan Putusan MK terdahulu dengan pasal-pasal terkait. Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta agar Pemohon untuk melakukan studi komparasi terhadap penerapan terhadap masa jabatan dari seorang anggota dewan dalam pemerintahan yang menganut paham demokrasi. “Coba Pemohon lakukan studi komparasi, semisal Amerika yang tidak dibatasi masa jabatan anggota dewannya, kira-kira bentuk kerugian dan keuntungannya seperti apa. Lalu cari pula negara yang dibatasi. Karena, nanti akan terkait dengan hal yang Anda inginkan dari permohonan ini terhadap Indonesia, yak ni adanya batasan masa jabatan,” jelas Arief.
Sebelum menutup persidangan, Ketuan MK Anwar Usman mengingatkan Pemohon untuk menyempurnakan permohonan dengan selambat-lambatnya menyerahkan perbaikannya pada Senin, 27 Januari 2020 pukul 09.30 WIB ke Kepaniteraan MK.
(Sri Pujianti/NRA).
https://youtu.be/hYQQV9uWK08