JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Senin (9/12/2019) di Ruang Sidang Panel MK.
Perkara yang teregistrasi Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan PT Nadira Intermedia Nusantara yang merupakan lembaga penyiaran berlangganan (LPB) melalui satelit. Pemohon melalui Muhammad Zen Al Faqih selaku kuasa hukum menyatakan Pasal 32 ayat (1) jo. Pasal 48 ayat (1) UU ITE, Pasal 43 ayat (1) UU Penyiaran, dan Pasal 25 ayat (2) huruf a jo. Pasal 118 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Keterangan Zen dalam sidang pertama ini mengungkapkan, Pemohon sebagai lembaga penyiaran telah memproses izin kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan telah mendapatkan rekomendasi kelayakan yang dikeluarkan KPI Pusat dengan rekomendasi Nomor 004/RK-JKT/KPI/2011 tertanggal 15 Maret 2011. Rekomendasi ini, sambung Zen, merupakan syarat utama dalam memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Bahkan Pemohon pun telah mendapatkan IPP yang diterbitkan Menkominfo dengan Nomor 1054 Tahun 2013 tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi PT Nadira Intermedia Nusantara tertanggal 30 September 2013.
Berdasarkan ketentuan UU Penyiaran, Pemohon berhak untuk menyiarkan program siaran milik Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang bersiaran secara penerimaan tetap tidak berbayar (free to air) termasuk menyiarkan siaran milik TV swasta dan publik yang dapat diakses oleh masyarakat. Termasuk pula oleh LPB melalui perangkat penerima siaran dan bersifat terbuka. Jadi, menurut Pemohon hal yang dilakukan tersebut telah mendapat perlindungan hukum dari negara.
Lebih jelas Zen pun menguraikan bahwa sebagai LPB, Pemohon diberikan izin oleh Menkominfo melakukan usaha dengan menyediakan channel premium kepada pelanggan dan bukan menjual channel free to air pada pelanggan. Sehingga, siaran melalui channel premium tersebut hanya dapat dinikmati oleh pelanggan Pemohon. Akan tetapi, tindakan Pemohon ini dilaporkan oleh PT MNC Sky Vision. Akibatnya Pemohon mendapati kasus hukum dan ditetapkan sebangai tersangka dan telah ditetapkan pula sebagai terdakwa dan tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
“Sebagai lembaga penyiaran berizin, kami punya hak untuk menyalurkan siaran televisi free to air, lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik. Di dalam Undang-Undang Hak Cipta ternyata, ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap lembaga penyiaran itu dilarang untuk melakukan penyiaran ulang siaran dan ini ada ancaman pidananya. Hal yang sama juga terdapat di dalam Undang-Undang ITE. Bahwa ada larangan untuk mentransmisikan dokumen elektronik dan informasi elektronik milik pribadi maupun milik publik tanpa hak dan melawan hukum. Padahal kami merasa pada saat menyalurkan siaran sudah memenuhi ketentuan Undang-Undang Penyiaran dan berdasarkan izin dari negara,” sampai Zen di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Wahiduddin Adams.
Untuk itu, dalam petitumnya Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak ditafsirkan ‘dikecualikan terhadap lembaga penyiaran berlangganan yang telah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran dari negara’.
Kedudukan Hukum
Mendapati permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihat Mahkamah menyatakan bahwa sebagai badan hukum privat, Pemohon harus mempertegas kedudukan hukumnya. Arief mempertanyakan, sebagai badan hukum privat, apakah benar seorang direktur utama memiliki kewenangan untuk bertindak ke dalam dan luar pengadilan. “Lihat AD/ART-nya lagi, menurut Ninmedia siapa yang berhak mengajukan perkara di dalam dan di luar pengadilan,” jelas Arief.
Di samping itu, Arief pun meminta agar Pemohon menjelaskan keterkaitan satu demi satu pasal pada tiga UU yang diuji yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Karena, sambung Arief, dari permohonan Pemohon penjelasannya dinilai masih sangat sumir dan tidak memperlihatkan pertentangan dengan UUD 1945. Sejalan dengan Arief, Wahiduddin juga melihat alasan sebab akibat serta kerugian konstitusional yang dialami Pemohon juga belum terlihat pada permohonan yang diajukan.
Sementara itu, Saldi kembali menegaskan pentingnya bagi Pemohon untuk menegaskan kedudukan hukum antara badan hukum dengan perseorangan. Karena, jelas Saldi, logika hukum antara kedua hal ini berbeda. Selain itu, Saldi pun meminta agar Pemohon tidak cukup menempel pasal tanpa adanya dasar pengajuanya.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 23 Desember 2019 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
(Sri Pujianti/NRA).