JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan ceramah kunci sekaligus membuka kegiatan seminar nasional yang menjadi penanda dimulainya Kompetisi Peradilan Semu Tingkat Nasional Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Tahun 2019, Kamis, (14/11) di Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Seminar Nasional yang mengusung tema “Konstitusionalitas Hasil Investigasi Kecelakaan Pesawat Sebagai Alat Bukti di Pengadilan”, menurut Arief sangat menarik untuk dikupasdari sisi Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, rujukan HAM yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor XVII/1998 Tentang HAM yang lebih dahulu diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia.
Dengan dasar itu, Arief menjelaskan bahwa HAM yang diatur dalam konstitusi adalah HAM yang dapat dilakukan limitasi sepanjang diatur dalam UU, dan hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 28J yang menjadi pasal penutup dari seluruh rangkaian pengaturan HAM dalam UUD 1945. Meski HAM dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut tidak boleh diskriminatif, menghambat atau bahkan menghilangkan secara sah kesempatan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.
Dalam sejumlah putusan, MK telah menetapkan pendiriannya terhadap tafsir Pasal 28J Ayat 2, “HAM dapat dibatasi tapi pembatasan itu mensyaratkan tujuh hal yaitu, pertama, diatur dalam UU. Kedua, didasarkan atas alasan-alasan yang sangat kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berlebihan.Ketiga, dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain. Kempat, memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Kelima, tidak diskriminatif. Keenam, tidak menghambat atau menghilangkan secara tidak sah hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Terakhir, ketujuh, berkait dengan hak pilih, pembatasan berdasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan, misalnya faktor usia, keadaan jiwa, dan ketidakmungkinan, misalnya karena dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya individual dan tidak kolektif,” ujar Arief.
Kepada civitas akademika Universitas Tarumanegara serta tim peserta Kompetisi Peradilan Semu Tingkat Nasional Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Tahun 2019 dari 12 perguruan tinggi yang berhasil lolos ke tingkat nasional itu, Arief memantik pertanyaan untuk didiskusikan, “Apakah kemudianketentuan mengenai hasil investigasi kecelakaan pesawat terbang tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan itu merupakan pembatasan HAM, atau justru merupakan perlindungan HAM, silahkan berdiskusi manfaatkan forum ini, mumpung hadir para pakar,” kata Arief.
Investigasi Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
Ahli hukum pidana Edward OS Hiariej, dalam pemaparannya menjelaskan tujuan investigasi KNKT yang berbeda dengan tujuan investigasi aparat penegak hukum. Menurutnya, bukti adalah kebenaran informasi dari suatu peristiwa, jika dalam hukum, mencari kebenaran suatu peristiwa bertujuan untuk menemukan siapa yang bersalah lalu ada sanksi. Hal ini, menurut pria yang akrab dipanggil Eddie, berbeda dengan tujuan KNKT yang berusaha mencari apa penyebabnya dan agar kecelakaan serupa tidak terulang kembali.
Hal senada juga disampaikan oleh ahli hukum penerbangan K. Martono, yang menerangkan bahwa dalam dunia penerbangan dibutuhkan kejujuran. “Jika terlalu banyak dihukum maka tidak ada yang mau jujur” ujar K. Martono.
Menurut Martono, banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat. Di antaranya adalah banyak pilot yang bekerja di bawah tekanan, sehingga tidak berani melapor ketika kondisi dirinya sedang tidak memungkinkan, karena hal tersebut bisa saja berpengaruh pada dicabutnya lisensi terbang pilot yang bersangkutan.
Martono menegaskan, KNKT memiliki tugas untuk melindungi banyak pihak, termasuk pengguna jasa penerbangan, agar insiden yang sama tidak terulang kebali di masa depan. Martono juga mengungkapkan, larangan publikasi hasil investigasi kecelakaan pesawat juga tidak hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga berlaku di berbagai negara lain.
(Ilham/NRA)