JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/11/2019). Permohonan perkara Nomor 67/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh perorangan warga negara bernama Supriyono yang menguji Pasal 38 ayat (1) UU KIP.
Pasal 38 ayat (1) UU KIP menyebutkan, “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota harus mulai mengupayakan penyelesaian sengketa informasi melalui dan/atau ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik.”
“Saya berharap Mahkamah akan memberikan penjelasan yang nyata, jelas dan rinci dalam setiap kerangka argumen yang dibangun berdasarkan bukti yang diuraikan oleh Pemohon,” kata Supriyono kepada Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (Ketua Panel), Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota Panel).
Pemohon hingga saat ini berstatus pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat. Adapun permohonan yang diajukan Pemohon adalah yaitu, penyelesaian sengketa antara Pemohon dengan Peruri dengan formulir permohonan penyelesaian sengketa informasi Nomor 034 tertanggal 25 Juli 2019 dengan status belum diregistrasi. Kemudian permohonan dengan registrasi Nomor 027/V/KIP-PS/2019, Rabu 29 Mei 2019 Pukul 08.50 antara Pemohon dengan Presiden Republik Indonesia selaku Termohon.
Namun menurut Pemohon, terhadap kedua permohonan yang diajukan oleh Pemohon ke Komisi Informasi Pusat, belum terdapat upaya untuk memulai penyelesaian walaupun telah melebihi 100 hari kerja. Hal tersebut disebabkan adanya penafsiran Tenaga Ahli di Komisi Informasi Pusat mengenai ketentuan pasal tersebut bahwa Komisi Informasi Pusat tidak memiliki keharusan untuk memulai mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik. Karena yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut “paling lambat 14 (empat belas) hari kerja adalah jangka waktu dilakukannya mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi”.
Menurut Pemohon, apa yang dialami oleh Pemohon dalam tata beracara pada Komisi Informasi Pusat sangat berbanding terbalik dengan tata beracara pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Hal ini terbukti pada Rabu 8 Mei 2019, Pemohon mendapat surat panggilan sidang Nomor 21/P/PA/PSI/KI-JBR/V/2019 yang pada pokoknya mengagendakan sidang pemeriksaan awal pada Kamis 16 Mei 2019 atau 6 (enam) hari kerja setelah permohonan diterima dan diregistrasi oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati permohonan terkait sistematika pendahuluan permohonan Pemohon. “Soal sistematika pendahuluan permohonan memang tidak lazim dan ada ekspresi Pemohon. Silakan ekspresi itu narasikan dalam argumentasi. Tidak kemudian dibuat dalam satu bab sendiri,” ucap Enny.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo menanggapi perihal pasal yang diujikan Pemohon. “Bapak dalam permohonan ini meninggalkan ayat (2) dari Pasal 38 karena ada strategi khusus yang ingin Bapak terapkan. Khawatirnya begini, kalau itu tidak disertakan misalnya, adakah korelasi yang kuat antara ayat (2) dan ayat (1) kalau dipisah? Tapi ternyata dua ayat itu bisa saling berkorelasi. Satu dan lainnya saling melengkapi. Nah, itu Bapak pertimbangkan. Meskipun argumentasi Bapak, persoalan strategi,” saran Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti format permohonan Pemohon. Manahan melihat pendahuluan permohonan berbelit-belit, tidak fokus ke persoalan utama. “Permohonan tidak langsung kepada tujuan dan malah ada kalimat yang mengganggu. Ini mungkin menurut Pemohon, dalam perkara-perkara yang lain, tapi dibuat di sini untuk perkara a quo. Nah, saya juga bingung. Kalau saya menafsirkan itu perkara lain atau perkara sebelumnya, mungkin benar. Tapi kalau perkara a quo, ini malah tidak tepat,” tandas Manahan.
(Nano Tresna Arfana/NRA)