JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (13/11/2019). Perkara ini dimohonkan oleh Ketua dan Sekjen Partai Papua Bersatu, Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa. Keduanya menguji frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) UU Otsus Papua yang menyebutkan, “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”
Semula, agenda sidang perkara yang teregistrasi Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Namun, persidangan ditunda karena keterangan tertulis ahli diserahkan sehari sebelum sidang. Pemohon beralasan mengalami kendala teknis yang mengakibatkan keterlambatan penyampaian keterangan tertulis ahli ke MK. Padahal dalam persidangan yang digelar pada Rabu, (16/10/19) lalu, Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang kala itu telah mewanti-wanti Pemohon atau kuasanya agar keterangan tertulis ahli diserahkan paling lambat dua hari sebelum sidang.
Menanggapi hal tersebut Anwar Usman mengambil kebijakan untuk menunda sidang. “Baik karena praktek harus dua hari sebelum sidang maka ahli akan didengar pada sidang selanjutnya. Sehingga sidang ini ditunda dan akan diberitahu oleh Kepaniteraan,” ujar Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Kerugian konstitusional yang dialami Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik (parpol) Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua dan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM.
“Alasan penolakan KPU Provinsi Papua untuk melakukan verifikasi karena belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua. Pendirian Partai Papua Bersatu merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yaitu kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua,” kata kuasa hukum Pemohon, Habel Rumbiak.
Dijelaskan Pemohon, awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan UU Otsus Papua tersebut, menurut Pemohon, parpol dimaksud adalah parpol lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis.
(Utami/NRA).