JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) pada Rabu (30/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 64/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Asrullah yang merupakan mahasiswa.
Dalam permohonan ini, Pemohon menyatakan Pasal 83A ayat (1) UU Adminduk yang berbunyi, “Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani administrasi kependudukan di provinsi diangkat dan diberhentikan oleh menteri atas usulan gubernur “. Sedangkan Pasal 83A ayat (2) yang berbunyi, “Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani adminstrasi kependudukan di kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh menteri atas usulan bukati/walikota melalui gubernur“ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 18A ayat (2, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Menurut Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyebutkan bahwa UU Adminduk memasukkan rezim pengangkatan dan pemberhentian pejabat tinggi pratama di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menjadi kewajiban menteri. Pejabat struktural yang dimaksud dalam pasal a quo tidak dijelaskan secara otentik, namun pengaturannya didelegasikan penjabarannya pada peraturan perundang-undangan yang lebih teknis tentang pembinaan dan pengembangan karier.
Selain itu, pasal yang diujikan secara moral dan filosofi, sambung Asrullah, bahwa prinsip desentralisasi kekuasaan merupakan upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI.
“Oleh karena itu, pemberian kewenangan pada menteri dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pejabat struktural dalam bidang kependudukan dan catatan sipil di level provinsi dan kabupaten/kota tidaklah sesuai dengan semangat konstitusi dan filosofi otonomi daerah,” ujar Asrullah di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiduddin Adams.
Hal ini pula berakibat pada absurditas nilai konstitusionalisme pada subjek hukum konstitusional pemerintahan daerah. Untuk itu, melalui petitum, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 83A ayat (1) dan ayat (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyebutkan perlunya Pemohon mempelajari kembali bentuk serta sistematika permohonan perkara ke MK. Di samping itu, Pemohon juga penting untuk menjabarkan kedudukan hukum dan hak konstitusional yang terlanggar dengan keberlakuan pasal-pasal tersebut. “Jadi, tolong jelaskan pula lebih rinci argumentasi terkait siapa pejabat struktural yang dimaksudkan Pemohon untuk mengangkat pejabat adminduk di daerah itu,” jelas Wahiduddin.
Sedangkan Palguna mengamati permohonan terkait kedudukan hukum Pemohon yang masih belum disebutkan posisi atau status Pemohon dengan keterhubungannya dengan kepentingan terlanggarnya hak konstitusional Pemohon. “Pada alasan permohonan ini jelaskan logika mengapa dalam kedudukan hukum Saudara dirugikan atas berlakunya norma a quo. Oleh karena itu, jangan menyepelekan uraian tentang legal standing karena itu pintu masuk permohonan Pemohon,” jelas Palguna.
Sementara itu, Saldi meminta agar Pemohon untuk memperjelas identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah yang dibuat sederhana, dan kedudukan hukum Pemohon karena kerugian yang dialami belum terurai dengan baik. Jaminan hak apa yang dalam konstitusi terlanggar dengan norma yang diujikan Pemohon. “Jadi, sebutkan kerugiannya apakah faktual maupun potensial. Dan kerugian itu berkaitan dengan apa dalam UUD 1945 yang terhubung dengan hak konstitusional warga negara,” saran Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyampaikan agar Pemohon menyempurnakan permohonan selambat-lambatnya diserahkan pada Selasa, 12 November pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)