JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019ini digelar pada Selasa (8/10/2019) di Ruang Sidang Pleno. Permohonan ini diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).Para Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g“tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.
Donal Faris selaku kuasa hukum Pemohon dalam sidang menyebutkan berlakunya aturan bolehnya orang yang berstatus mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU Pilkada dengan hanya menyampaikan pengumuman kepada publik sebagaimana diatur dalam UU tersebut telah menghambat upaya dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, pasal tersebut juga menghalangi usaha pemohon untuk mendorong pemberdayaan rakyat agar mampu berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan dalam rangka mewujudkan sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih dari korupsi yang berlandaskan keadilan sosial dan gender.
Menurut para pemohon, karena berlakunya pasal yang diujikan telah membuka kesempatan dan memperbolehkan orang yang sedang mantan terpidana khususnya terpidana korupsi untuk menjadi kepala daerah atau setidaknya menjadi calon kepala daerah tanpa adanya masa tunggu bagi yang bersangkutan. Meski hak politik adalah sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh UUD 1945 tetapi, hak politik bukanlah hak yang tidak dapat dibatasiketika hendak menjalankan kewajiban konstitusionalnya melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia, dalam situasi tertentu negara terpaksa melakukan pembatasan-pembatasan tertentu agar hak-hak asasi yang berada di bawah jaminannya dapat dilindungi, dihormati dan dipenuhi. Konstitusi juga mengatur hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun karena bersifat absolut.
Fadli Ramadhanil yang juga kuasa hukum Pemohon, pun melanjutkan akibat ketiadaan aturan pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapida kasus korupsi untuk maju lagi dalam kontestasi pemilu mengakibatkan perhelatan pemilu diikuti oleh mantan terpidana kasus korupsi. Akibatnya, kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana kasus korupsi memiliki peluang yang besar untuk mengulangi kembali perbuatannya. Donal mencontohkan kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang menjadi tersangka kasus dugaan jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus, setelah sebelumnya juga menjadi terpidana dalam kasus korupsi anggaran di Kabupaten yang sama.
“Tanpa adanya waktu tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun untuk bisa kembali menjadi calon kepala daerah serta syarat bukan pelaku kejahatan berulang telah merusak sendi demokrasi yang telah pula diuraikan oleh Mahkamah melalui putusan sebelumnya, dimana seorang pejabat yang dipilih publik yang dipilih melalui proses pemilu tidak bisa sepenuhnya diserahkan penentuannya kepada pemilih. Tetapi harus ada instrumen negara yang perlu memberikan proteksi agar pejabat publik yang dipilih memiliki kualitas dan integritas,” ujar Fadli Ramadhanil.
Selain itu, Para Pemohon menilai pada pertimbangan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009Mahkamah telah menyatakan bahwa di dalam hukum pidana di Indonesia tidak mengenal stigmatisasi di dalam penjatuhan hukuman. Oleh sebab itu, harus ada batasan waktu yang jelas untuk menjamin kepastian hukum, agar bagi orang yang menjalani pemasyarakatan terpulihkan haknya dan kembali hak-haknya sebagai wujud kebebasan bagi orang yang terpidana.
Sehingga, didalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyaikekuatanhukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewatijangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan para Pemohon, Saldi Isra menyampaikan bahwa para pemohon perlu menambahkan kedudukan hukumnya. Selain itu, ia juga meminta kepada para pemohon untuk memperbaiki penulisan dalam permohonan karena terdapat kesalahan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, dia meminta kepada para pemohon untuk memberikan referensi kepada Mahkamah terkait dengan legal standing (kedudukan hukum) dengan melihat putusan-putusan Mahkamah sebelumnya.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan sebagaimana nasihat hakim. Sidang berikutnya digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (Utami/LA)