JAKARTA, HUMAS MKRI – Peralihan kewenangan sertifikasi produk halal yang semula dimiliki Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada Pemerintah melalui menteri agama sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) digugat. Sejumlah pimpinan LPPOM dari 31 provinsi mengajukan permohonan uji materiil Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH. Dalam sidang perdana perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019, Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal a quo bertentangan dengan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Syaeful Anwar selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon menyebutkan, bahwa otoritas penetapan halal dan haram pada suatu produk diberikan pada Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwa MUI dengan membentuk suatu badan khusus yakni LPPOM MUI. Lembaga ini diberikan wewenang untuk melakukan sertifikasi terhadap kehalalan produk. Di samping itu, lembaga ini merupakan lembaga yang telah ada dan diterima keberadaannya oleh masyarakat Indonesia sejak 1989 hingga sekarang. Namun, sambungnya, melalui Pasal 5 dan Pasal 6 UU JPH telah mengalihkan fungsi lembaga ini kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH, berakibat pada pembatasan dan/atau pereduksian kewenangan yang dimiliki MUI kepada BPJPH untuk melakukan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri tanpa mengikutsertakan MUI. Sehingga terkesan membiarkan produk-produk luar negeri tersebut masuk ke Indonesia tanap melalui proses sertifikasi halal atau tanpa adanya fatwa MUI.
“Maka, pasal-pasal tersebut haruslah dianulir dan dikabulkan sebagaimana permohonan para Pemohon,” ujar Syaeful di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH bertentangan dengN UUD 1945 dan tidak mempinyai kekuatan hukum mengikat.
Penerapan Sistem
Menanggapi permohonan Pemohon, Manahan menyikapi bahwa para Pemohon yang merupakan bagian dari lembaga perlu menjelaskan secara jelas kedudukan hukumnya yang berhak menjadi wakil dari lembaga baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karena, jelas Manahan, penting untuk mengaitkan perkara a quo dengan kepentingan lembaga serta relvansinya terhadap pengajuan pengujian norma. Di samping itu, Manahan meminta agar para Pemohon menguraikan dengan jelas penerapan sistem mandatory yang berakibat pada kerugian atau tidak dilindunginya para Pemohon akibat adanya ketidakpastian hukum.
Merasa Dirugikan
Sementara itu, Wakil Ketua MK Aswanto melihat bahwa para Pemohon seharusnya menggambarkan perbedaan yang terjadi atas pengalihan kewenangan dari LPPOM MUI ke BPJPH yang merugikan masyarakat, terutama terkait dengan syarat-syarat untuk memperoleh label produk halal. “Apa masyarakat malah dirugikan dengan adanya pengambilalihan kewenangan ini?” tanya Aswanto dalam sidang yang digelar pada Selasa (17/9/2019).
Untuk itu, para Pemohon harus dapat melakukan elaborasi yang komprehensif terhadap permasalahan ini mengingat bahwa dengan keberadaan badan baru ini tidak serta merta mengambilalih kewenangan MUI terutama untuk melakukan penerbitan surat rekomendasi produk halal. “Kewenangan penerbitan itu masih ada pada MUI kan. Sehingga tolong buat elaborasi komprehensifnya agar Mahkamah yakin memang terjadi kerugian konstitusional para Pemohon,” jelas Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyampaikan para Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaikan permohonan selambat-lambatnya hingga Senin, 30 September 2019 pukul 13.00 WIB dan menyerahkannya pada Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)