JAKARTA, HUMAS MKRI – Jika Pasal 10 ayat (1) UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa dan memutus pengaduan konstitusional,” hal ini dapat mengaburkan kewenangan MK. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Ardiansyah dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (16/9/2019) siang.
Lebih lanjut, Ardiansyah menyebutkan bahwa terhadap perkara yang dimohonkan Viktor Santoso Tandiasa (Pemohon I) dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon II) ini bahwa apabila para Pemohon ingin menambahkan kewenangan MK akan bertentangan dengan yang diatur dalam UUD 1945. “Berdasarkan hal tersebut, maka tidak terdapat hubungan sebab akibat kerugian para Pemohon dengan kewenangan yang dimiliki MK serta tidak terlihat kerugian yang spesifik dan aktual yang dialami,” ujar Ardianyah selaku wakil Pemerintah dalam menyampaikan keterangan perkara yang teregistrasi Nomor 28/PUU-XVII/2019 ini.
Belum Ada Sarana
Kewenangan MK, sambung Ardiansyah, diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sangat limitatif. Sehingga apabila menginginkan adanya penambahan kewenangan atau perluasan yang dimaksud, maka hanya dapat ditempuh melalui amendemen UUD 1945. “Sehingga bukan ranah MK untuk memutuskan permohonan a quo dan Pemohon dapat mengajukan legislative review,” jelas Ardiansyah di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sejalan dengan permohonan para Pemohon yang menghendaki kewenangan MK untuk dapat pula menyelesaikan perkara-perkara constitutional complaint, diakui Ardiansyah belum ada sarana untuk memfasilitasi permasalahan tersebut. Akan tetapi, jika para Pemohon ingin penyelesaian tersebut dilakukan MK, maka harus memasukkan pada ranah pengujian undang-undang melalui metode judicial review.
Sebelumnya, Pemohon I pernah berperkara di MK dalam perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015, yang dalam putusan tersebut Mahkamah pada perkara tersebut menyatakan “memang terdapat kekosongan hakim yaitu bukan hanya tidak adanya atau tidak ditegaskannya mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh seseorang tersangka yang tanpa alasan yang jelas tidak segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”, namun setelah 3 tahun berjalan sejak diputuskan pembentuk UU belum menindaklanjuti hal yang telah diputuskan Mahkamah.
Adapun Pemohon II juga pernah memperjuangkan hak konstitusional melalui perkara Nomor 76/PUU-XVI/2018 dan perkara Nomor 5/PUU-XVII/2019. Dalam kedua permohonan tersebut, Pemohon II tidak mengujikan norma, tetapi menyatakan tidak dilakukannya revisi oleh pembentuk undang-undang. Terhadap ketentuan norma pasal a quo, Pemohon II menilai bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan bahwa mekanisme pengaduan konstitusional merupakan salah satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga negara melalui pengadilan tata negara dalam hal ini MK, yang bertujuan memberikan perlindungan dengan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dengan demikian, sebagai bagian dari konstitusi yang merupakan hukum fundamental yang membatasi kekuasaan negara, hak konstitusional juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyampaikan persidangan berikutnya akan digelar pada Rabu, 25 September 2019 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemohon. (Sri Pujianti/IqbalAditya/LA)