JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada Kamis (12/9/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara yang teregistrasi Nomor 40/PUU-XVII/2019 ini dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dalam permohonan perkara ini, Rolas Jakson Tampubolon (Pemohon) yang berprofesi selaku pendeta ini menyampaikan bahwa Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak“ bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
Sebagai seorang pendeta pembantu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) dalam pelayanan, Pemohon mendapati banyak jemaat yang mengalami masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut Rolas, jemaat tidak terlebih dahulu melakukan konseling kepada pihak gereja, tetapi langsung mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dalam pandangan Rolas, sebaiknya penyelesaian dilakukan secara internal dahulu di dalam gereja karena perkawinan bagi kalangan Kristen dalam hukum agama adalah sekali seumur hidup. Untuk itu, bagi Pemohon pasal tersebut tidak mempersukar terjadinya perceraian sehingga hal ini merugikan hak konstitusional warga negara.
“Pasal ini masih lemah dalam dimensi hukum agama yang dianut Pemohon, di mana Pemohon wajib meluhurkan ajaran Tuhan dalam Alkitab yang salah satu ajaran Alkitab adalah melarang perceraian,” sampai Rolas di hadapan hakim konstitusi.
Dengan demikian, melalui petitum Rolas memohon agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah suami atau istri memperoleh keterangan bimbingan perkawinan dari tokoh agama yang hukum agamanya melarang perceraian.”
Aturan Perceraian
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan pasal bersifat universal. Suhartoyo, perubahan pada pasal tersebut, sambung Suhartoyo, berdampak pada konstruksi pasal itu sendiri. Karena pada ayat (3) pasal tersebut menyatakan perceraian di pengadilan ada syarat tentang tata cara pelaksanaan pendamaian kedua belah pihak. “Jadi sebenarnya siapapun yang bercerai akan terkena syarat-syarat yang mengatur tata caranya. Saya di sini ingin berilustrasi, apa kira-kita konsep ini tepat diajukan. Apabila melihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 di dalamnya memuat secara teknis aturan pelaksanaan perceraian yang dimaksud,” jelas Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny mengingatkan Pemohon agar menguraikan secara lebih terperinci mengenai kedudukan hukum (legal standing) yang dikaitkan pula dengan kerugian hak konstitusional Pemohon selaku pemuka agama yang berperan mewujudkan kehidupan selaras dan seimbang dalam kehidupan beragama. Enny menyarankan Pemohon agar membaca kembali dengan saksama pasal tersebut dan mengaitkannya dengan kerugian yang dialami Pemohon. Enny juga menuturkan, perceraian adalah suatu hal yang tidak mudah karena ada beberapa hal yang perlu dilewati sebelum menuju hal tersebut.
Adapun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams juga meminta Pemohon untuk mendalami juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam PP tersebut memuat secara teknis aturan pelaksanaan perceraian. “Sehingga Pemohon dapat melihat kesesuaian masalah konseling di gereja, menjadi hal penting bagi jemaat sebelum memutuskan perceraian,” tutur Wahiduddin.
Sebelum menutup persidangan, Wahiduddin menyampaikan agar Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 25 September 2019 pukul 11.00 WIB 2019 ke Kepaniteraan MK (Sri Pujianti/Budi Prasetyo/NRA).