JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/9/2019) siang. Pemohon adalah Ketua dan Sekjen Partai Papua Bersatu, Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa. Keduanya menguji frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menyebutkan, “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”
Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Kerugian konstitusional yang dialami Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua dan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM.
“Alasan penolakan KPU Provinsi Papua untuk melakukan verifikasi karena belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua. Pendirian Partai Papua Bersatu merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yaitu kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan dibawahnya, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua,” kata kuasa hukum Pemohon, Habel Rumbiak.
Dijelaskan Pemohon, awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tersebut, menurut Pemohon, partai politik dimaksud adalah partai politik lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis.
Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan saran agar Pemohon melakukan perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
“Pemohon agar lebih memperjelas mengenai kedudukan hukum. Lebih dipertajam lagi bahwa permohonan yang diajukan atas nama perorangan atau partai politik,” tegas Palguna.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa pengujian undang-undang yang dilakukan Pemohon akan berimplikasi pada UU Partai Politik dan UU Pemilu juga. Is meminta agar Pemohon memperhatikan hal tersebut. “Coba itu dikaji secara komprehensif karena kalau kita menggeser ini, konsekuensinya di Undang-Undang Parpol, Undang-Undang Pemilu itu juga nanti ada pergeseran,” tukasnya.
Dalam kesempatan itu, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. Panel Hakim menegaskan perbaikan paling lambat diserahkan pada Senin, 23 September 2019 pada pukul 13.30 WIB. (Nano Tresna Arfana/LA)