JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebelum perubahan UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) disebut sebagai lembaga tertinggi negara dan Presiden diposisikan sebagai mandataris MPR. Dengan demikian, posisi Presiden berada di bawah MPR. Oleh karena itu pertanggungjawaban Presiden diberikan kepada MPR.
“Konsep demikian pada saat perubahan UUD 1945 dievaluasi, kita sebenarnya mau menggunakan Sistem Presidensil atau Sistem Parlementer? Dalam Sistem Presidensil, Presiden dipilih dalam jangka waktu tertentu dan dibatasi. Sedangkan dalam Sistem Parlementer tidak ada jangka waktunya. Presiden atau Perdana Menteri dapat diganti sewaktu-waktu dan bertanggung jawab kepada Parlemen,” ujar Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (S2) Universitas Islam As-Syafi'iyah mengenai pertanggungjawaban Presiden di Indonesia pada Rabu (21/8/2019) Ruang Delegasi Lantai 4 Gedung MK.
Dikatakan Faiz, Indonesia ingin memasukkan dan menegaskan prinsip-prinsip Sistem Presidensil. Karena itulah masa jabatan Presiden dibatasi, maksimal dua periode atau 10 tahun. Perubahan berikutnya, untuk memilih Presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR, namun langsung oleh rakyat.
“Dengan Sistem Presidensil, maka pertanggungjawaban Presiden tidak lagi kepada Parlemen. Secara teori, Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Pertanggungjawaban Presiden akan dinilai setiap lima tahun sekali. Maka pemilulah yang kemudian menentukan apakah Presiden pantas dipilih lagi atau tidak. Kalau di tengah jalan Presiden melakukan pelanggaran hukum maka forumnya adalah impeachment. Tetapi hanya untuk hal-hal yang sangat fundamental. Karena salah satu kriteria sistem presidensial adalah stabilisasi kepemimpinan,” kata Faiz.
Faiz juga menjawab pertanyaan mahasiswa mengenai waktu persidangan MK untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden selama 14 hari dinilai singkat. “Hal ini menjadi pilihan, kalau kita ingin cepat atau speedy trial, maka ada hal-hal yang dalam persidangan normal harus dikurangi, termasuk jumlah saksi. Dengan demikian, antara speedy trial dengan normal trial pertimbangannya waktu dan agenda ketatanegaraan,” tuntas Faiz.
Dalam pertemuan dengan 25 mahasiswa Universitas Islam As-Syafi'iyah itu, Faiz juga menyinggung sejarah judicial review di dunia. Kasus Marbury versus Madison yang diputuskan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1803, dalam berbagai literatur disebut sebagai judicial review pertama kali di dunia. Padahal dua abad sebelumnya, sudah dilakukan pengujian undang-undang melalui BonhamCase di Inggris atau dikenal HaytonvsUSA.
“Kasus Marbury versus Madison bukanlah kasus judicial review pertama di dunia. Karena ada putusan-putusan lain, bahkan di luar Amerika Serikat yang sudah memutus judicial review. Jadi, Kasus Marbury versus Madison paling monumental ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat pertama kali membatalkan Undang-Undang buatan Kongres,” jelas Faiz.
Kasus Marbury vs Madison menginspirasikan pakar hukum tata negara asal Austria, Hans Kelsen melalui Teori Berjenjang untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Austria yang akhirnya terbentuk pada 1920 sebagai MK pertama di dunia. Kemudian negara Ceko mengklaim MK Ceko justru merupakan MK pertama di dunia. Beberapa bulan sebelum MK Austria terbentuk, MK Ceko sudah lebih dulu ada tetapi belum berfungsi. Sehingga sejarah mencatat MK pertama di dunia adalah MK Austria yang menjalankan fungsinya secara optimal.
Faiz juga menerangkan model judicial review yang terbagi dua yaitu Decentralised System (American System) dan Centralised System (European System). Dalam Decentralised System (American System), judicial reviewdapat diputus melalui supreme court maupun pengadilan umum. Sedangkan dalam Centralised System (European System), judicial review dapat diputus melalui lembaga peradilan independen dan terpisah seperti Mahkamah Konstitusi.
Lebih lanjut Faiz menyampaikan bahwa MK Republik Indonesia yang terbentuk pada 13 Agustus 2003, memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain itu MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. MK juga memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan satu kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. (Nano Tresna Arfana/NRA)