JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), pada Selasa (21/5/2019). MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena Pemohon tak memiliki kedudukan hukum. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim lainnya.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membaca pertimbangan hukum, menyebut pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan. Sebab Pemohon tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
“Mahkamah telah memberi kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, namun sesuai dengan perbaikan permohonan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 September 2018 ternyata para Pemohon tetap mengajukan permohonan a quo, di mana Pemohon I dan Pemohon II tetap diwakili oleh pihak yang tidak sesuai dengan Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010 dan Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009,” jelasnya. Hal ini terkait dengan pihak yang berhak mewakili yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia dan Yayasan Auriga Nusantara dalam proses hukum.
Di samping itu, kata Wahiduddin, terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II juga telah dilakukan sidang pleno untuk pembuktian lebih lanjut atas substansi permohonan. Dalam kesempatan tersebut, seharusnya masih dapat dipergunakan Pemohon I dan Pemohon II untuk membuktikan segala hal yang berkaitan dengan permohonannya, termasuk membuktikan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II, namun ternyata hal tersebut juga tidak dilakukan Pemohon I dan Pemohon II.
Selain itu, lanjut Wahiduddin, Pemohon III dan Pemohon IV dalam alasan kedudukan hukumnya tidak mendalilkan ketentuan dalam UUD 1945 yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU.
“Jika pun benar Pemohon III dan Pemohon IV memiliki hak konstitusional, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual. selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus),” tegas Wahiduddin.
Permohonan Nomor 74/PUU-XVI/2018 ini diajukan Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI) yang diwakili oleh Agus Triyono sebagai Ketua, Yayasan Auriga Nusantara yang diwakili oleh Timer Manurung sebagai Ketua, serta tenaga pengajar, yaitu Charles Simabura, Oce Madril, dan Abdul Ficar Hadjar. Adapun Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU (1) menyatakan, “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: … z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”. Penjelasan Pasal 74 UU TPPU menyatakan, “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.” (Arif Satriantoro/LA)