JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terkait pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran). Hal demikian diucapkan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan Nomor 80/PUU-XVI/2018 yang digelar pada Selasa (21/5/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan tersebut dimohonkan oleh 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran ini menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, dan Pasal 30 ayat (2) huruf b UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Wakil Ketua MK Aswanto dalam pertimbangan hukum menyampaikan bahwa permohonan Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan mengenai frasa “dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran, Mahkamah berpendapat perlu dipahami bahwa KKI merupakan suatu badan otonom, yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Praktik Kedokteran. Sementara itu, tambah Aswanto, mengenai kedudukan kolegium kedokteran pun telah dinyatakan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia sebagaimana hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017. Berdasarkan pertimbangan tersebut, telah terang bagi Mahkamah antara KKI dengan kolegium memiliki peranan yang berbeda dalam organisasi profesi kedokteran.
“Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena permohonan seakan-akan menghendaki Mahkamah untuk mengintervensi organisasi kedokteran Indonesia yang dihubungkan dengan permasalahan sebuah norma,” jelas Aswanto.
Penyelenggara Pelatihan
Mengenai dalil para Pemohon terhadap Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, menurut Mahkamah, yang perlu ditekankan dalam pasal tersebut adalah antara lain menyatakan, “…pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi.” Dari ketentuan tersebut, jelas Aswanto, telah jelas penyelenggara pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan adalah IDI. “Sehingga ketentuan tersebut tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang didalilkan oleh para Pemohon,” terang Aswanto.
Adapun permohonan para Pemohon yang memohon agar pasal tersebut ditafsirkan dengan jelas dalam hal penyelenggaraan proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) harus ada keterlibatan aktif MKKI yang merupakan unsur IDI dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Melainkan hanya keberatan para Pemohon terhadap implementasi norma di lapangan karena dalam hal proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB), tidak dilibatkannya secara aktif MKKI yang merupakan unsur IDI yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 28 ayat (1) UU 29/2004 dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Aswanto. (Sri Pujianti/LA)