JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai pengumuman hasil hitung cepat selama dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat konstitusional. Demikian Putusan Nomor 24/PUU-XVII/2019 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (16/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) tersebut. “Amar putusan menolak permohonan Pemohon,” kata Anwar.
Sebagaimana diketahui, Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu yang memuat mengenai pengumuman survei atau jajak pendapat pada masa tenang serta aturan mengeni pengumuman hasil hitung cepat selama dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Meski seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014. Menurut anggapan Pemohon, berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya telah menimbulkan kerugian hak konstitusional karena melarang hasil survei dan jajak pendapat diumumkan pada masa tenang serta melarang pengumuman hasil quick count jika dilakukan sebelum dua jam setelah pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat selesai dilakukan. Pemohon sebagai organisasi yang bergerak di bidang riset dan surveI opini publik tidak dapat dilepaskan dari kegiatan mengumumkan, menyiarkan, mempublikasikan, atau melakukan eksaminasi publik hasil riset yang telah dilakukan sesuai dengan metode yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menilai ketentuan batas waktu paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, tidak dapat dimaknai ketentuan tersebut telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu. Kendatipun demikian, sambung Saldi, hanyalah menunda sesaat hak dimaksud demi alasan yang jauh lebih mendasar, yaitu melindungi kemurnian suara pemilih yang jika diikuti petitum Pemohon.
Saldi menjelaskan selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah WIT memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan. Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang.
“Apalagi, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, pertimbangan perihal budaya hukum dan budaya politik masyarakat turut pula menjadi faktor determinan terhadap tercapai atau tidaknya maksud mewujudkan kemurnian suara pemilih yang hendak dicapai oleh asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” jelas Saldi.
Bukan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Selain itu, Saldi juga mengungkapkan secara metodologis, hitung cepat (quick count) bukanlah bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat karena di dalamnya masih mengandung rentang kesalahan (margin of error). Dengan demikian, lanjutnya, sekecil apapun rentang kesalahan dalam hitung cepat yang digunakan akan tetap berpengaruh terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam rentang kesalahan tersebut. Artinya, keandalan hitung cepat adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut.
“Dengan demikian, pembatasan dalam bentuk penundaan pemenuhan hak untuk memberikan dan memperoleh informasi sebagaimana diuraikan di atas yang disebabkan oleh perbedaan wilayah waktu tersebut masih memenuhi syarat pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan pertimbangan demikian, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Berafiliasi pada Kontestan Pemilu
Sementara terkait aturan survei atau jajak pendapat dalam masa tenang, Saldi mengungkapkan secara empirik sejumlah analis menengarai adanya indikasi bahwa sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu. Oleh karena itu, jika Undang-Undang Pemilu memperbolehkan adanya pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang sama saja dengan menerima fakta empirik tersebut. Begitu pula halnya dengan sejumlah lembaga penyiaran. Dengan demikian, lanjutnya, membenarkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang sama saja dengan membenarkan adanya kampanye pada masa tenang.
Oleh karena itu, Saldi melanjutkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang yang dilakukan oleh lembaga survei atau jajak pendapat yang dahulu oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 dipertimbangkan sebagai pendapat yang “tendensius”, pada saat ini sebagian di antaranya telah merupakan fakta empirik. Meskipun hanya sebagian, kondisi demikian apabila dibiarkan sangat berpotensi memengaruhi kemurnian suara rakyat dalam menentukan pilihannya yang pada akhirnya akan bermuara pada tidak terwujudkannya asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih lagi jika faktor kesiapan masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya hukum dan budaya politik masyarakat, juga turut menjadi pertimbangan sebagaimana tampak secara aktual pada reaksi yang terjadi terhadap hasil jajak pendapat tersebut.
Kemurnian Suara Rakyat
Kemudian, Saldi memaparkan dalam hubungannya dengan permohonan tersebut, apabila dilihat dalam konteks putusan sebelumnya, dalil Pemohon yang menyatakan seolah-olah pembentuk undang-undang telah mengabaikan putusan Mahkamah, pandangan demikian tidaklah sepenuhnya keliru. Namun apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, larangan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang memiliki tujuan yang jauh lebih mendasar, yaitu untuk menjaga dan melindungi kemurnian suara pemilih dalam menentukan pilihannya. Apalagi jika terbukti pandangan sejumlah analis yang menengarai bahwa sebagian hasil survei atau jajak pendapat memang didesain untuk memengaruhi dan mengubah pilihan pemilih. Padahal, lanjutnya, disadari atau tidak, didesainnya tahapan masa tenang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemilih guna merenungkan dan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, serta dengan mempertimbangkan fenomena yang berkembang dalam masyarakat saat ini, adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” terang Saldi.
Dalam waktu hampir bersamaan, MK juga menolak permohonan Perkara 25/PUU-XVII/2019 yang diajukan PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara. Para Pemohon menguji pasal yang serupa dengan perkara sebelumnya yakni Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.
Belum Tentu Akurat
Para Pemohon menjelaskan, penundaan publikasi hasil hitungan cepat justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih pemilu tahun ini adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapatkan informasi seputar hasil pemilu.
Dalam putusannya, MK menegaskan waktu publikasi hitung cepat tetap dibatasi dua jam setelah penghitungan suara di Indonesia bagian barat. Pembatasan waktu pengumuman hasil hitung cepat dua jam setelah penghitungan suara di Indonesia bagian barat dinilai hakim tetap diperlukan untuk menjaga kemurnian suara. Hal ini dipengaruhi perbedaan tiga zona waktu yang ada di Indonesia. Menurut hakim, tak menutup kemungkinan pengumuman hitung cepat di Indonesia bagian timur sudah diumumkan ketika proses pemungutan suara di Indonesia bagian barat belum selesai.
"Karena kemajuan teknologi informasi, hasil hitung cepat dapat dengan mudah disiarkan sehingga berpotensi mempengaruhi pilihan sebagian pemilih dengan motivasi psikologis ingin menjadi bagian dari pemenang pemilu," ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Mahkamah menegaskan, quick count merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang belum tentu akurat karena masih ada rentang kesalahan atau margin of error.
Menurut Mahkamah, keputusan menunda pengumuman hitung cepat hingga dua jam setelah pemungutan suara tidak berarti menghilangkan hak konstitusi atas informasi, karena sifatnya hanya menunda sesaat. (Nano Tresna Arfana/LA)