JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (7/2/2019) siang. Perkara dengan Nomor 9/PUU-XVII/2019 tersebut diajukan oleh advokat dan aktivis muslim yang tergabung dalam Aliansi Anak Bangsa.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang frasa “penghentian penyidikan”. Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan, “Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan”. Arvid Martdwisaktyo selaku kuasa hukum para Pemohon menilai telah dirugikan dengan berlakunya KUHAP sepanjang frasa “penghentian penyidikan”. Hal ini lantaran Pasal 77 huruf a KUHAP telah membatasi dan menghilangkan arti dari fungsi kontrol dalam proses penegakan hukum acara pidana, karena sejatinya penyidikan bukan merupakan proses yang dapat dipisahkan dari penyelidikan. Penerapan frasa tersebut telah menghilangkan kepastian dan perlindungan hukum Pemohon sebagai pelapor tindak pidana.
“Adanya Pasal 77 huruf a sepanjang frasa penghentian penyidikan, akan mempersempit ruang kontrol praperadilan dalam proses penegakan hukum. Bahwa Pemohon telah kehilangan hak untuk melakukan kontrol dalam tahapan penyelidikan, sehingga penegak hukum dapat menggunakan celah atau cara dengan menghentikan laporan pidana dalam tahapan penyelidikan,” ujar Arvid dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dalam kasus konkret, para Pemohon merupakan pelapor terhadap dugaan peristiwa tindak pidana penistaan agama yang dilakukan oleh saudari Sukmawati Soekarno Putri tertanggal 4 April 2018. Namun pada tanggal 9 Juli 2018, proses penyelidikan laporan para Pemohon dihentikan dengan alasan bahwa perkara yang dilaporkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan tindak pidana. Setelah penyelidikan dihentikan oleh Bareskrim Polri, para Pemohon mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang kemudian ditolak oleh Majelis Hakim dengan beralasan bahwa penghentian penyelidikan tidak termasuk objek praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP. Karena putusan pengadilan tersebut, Pemohon berpendapat frasa “penghentian penyidikan” juga harus dimaknai penghentian penyelidikan guna melindungi hak para Pemohon sebagai Pelapor tindak pidana yang laporannya dihentikan dalam proses penyelidikan, dapat mengajukan hak dalam melakukan perlindungan hukum melalui lembaga praperadilan yang memiliki fungsi kontrol dalam proses pemeriksaan perkara pidana.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tersebut, Palguna menyarankan agar alasan permohonan secara aktual dituangkan dan dielaborasi menjadi kerugian konstitusional Pemohon. “Sebagian dari peristiwa yang dipaparkan itu lebih baik masuk ke uraian ke kerugian hak konstitusional karena memang di situ tempatnya karena syarat untuk membuktikan kerugian aktual itu, kan? Karena di situlah Saudara nanti mengaitkan dengan sebagian dari alasan yang sekarang sudah ada di uraian mengenai Kedudukan Hukum Pemohon,” sarannya.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar para Pemohon mempertimbangkan mengenai adanya perubahan KUHAP yang berlangsung di DPR. Jika mengikuti perkembangan RUU KUHAP, Suhartoyo menjelaskan penyelidikan akan dihilangkan. Untuk itu, para Pemohon diminta untuk mempertimbangkan menempuh jalur legislative review atau judicial review. “Apakah ini kemudian Anda itu cocoknya ke legislative review atau tetap harus lebih cepat ke sini (MK) dulu? Mestinya itu bisa menjadi masukan ke pihak DPR yang membentuk undang-undang dan pemerintah yang sekarang sedang menggodok rancangan KUHAP itu,” tandasnya.
Terhadap saran perbaikan tersebut, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja terhadap para Pemohon untuk melakukan perbaikan. Sidang berikutnya diagendakan untuk mendengar perbaikan permohonan para Pemohon. (Lulu Anjarsari)