Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap UUD 1945 pada Senin (7/1/2019). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”.
Victor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyebut ada penambahan jumlah Pemohon sebanyak dua orang yang terdiri dari karyawan jasa pembiayaan perusahaan jasa keuangan, Dodi Asnawi dan Andi Pauloi. “Saat ini mereka merupakan tahanan di Polda Metro Jaya,” jelasnya di sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Sementara terkait dalil permohonan, Victor menegaskan kewenangan penyidik OJK mengaburkan prinsip integrated criminal justice system. Di sisi lain, hal ini juga menyebabkan ketidakpastian hukum. Dia menyebut terdapat ketidakjelasan ruang lingkup dan tindak pidana apa yang menjadi wewenang OJK, yakni menjadi kewenangan Polisi atau OJK. “Inilah yang menimbulkan dualisme sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegasnya.
Atas dasar ini, tegasnya, Pemohon dalam petitumnya, meminta MK mengabulkan Permohonan seluruhnya. Selain itu, menyatakan Pasal 1 angka 1 frasa “penyidikan” dan Pasal 9 huruf c frasa “penyidikan” bertentangan dengan Konstitusi.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mendalilkan dalam menjalankan wewenangnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Namun menurut Pemohon, menerangkan bahwa terhadap wewenang penyidikan yang diberikan UU OJK kepada PPNS OJK, sama sekali tidak ada ketentuan norma yang secara eksplisit menyatakan: “Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum acara pidana”, atau setidak-tidaknya menyatakan: “Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri.
Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK. Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”, yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan asas due process of law dalam sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system), serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. (Arif Satriantoro/LA)