Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf B dan D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), pada Selasa (11/12). Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian PAN RB Tin Zuraida menegaskan aturan yang diuji memberi kepastian hukum dan tak bersifat diskriminatif.
Zuraida menyebut ketentuan Pasal 87 ayat (2) serta Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN memberikan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Maka, UU ASN telah sesuai dan sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Di sisi lain ketentuan yang diatur dalam Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d menjamin kebebasan dari perilaku yang bersifat diskriminatif. Ini sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Pasal yang diujikan, kata Zuraida, menyebut pemberhentian dengan tidak hormat terhadap seorang PNS dilakukan apabila PNS terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan telah memperoleh putusan bersifat inkracht. Individu yang berprofesi sebagai PNS, lanjutnya, dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara pidana, diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Selain itu, PNS juga diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum, baik berupa banding, kasasi, peninjauan kembali.
Zuraida juga menyebut norma Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d Undang-Undang ASN memberikan kesempatan yang sama tanpa terkecuali terhadap seluruh PNS untuk melakukan upaya dalam membela hak-haknya. Yakni pada setiap tahapan pemeriksaan perkara pidana, serta tidak sekalipun menutup pintu atau menghalangi PNS untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap keputusan PPK yang memberhentikan dengan tidak hormat.
“Berdasarkan uraian yang kami jelaskan di atas, telah jelas bahwa seorang PNS yang akan diberhentikan, baik dengan hormat maupun dengan tidak dengan hormat diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan atau pembuktian atas dugaan pelanggaran yang dilakukan,” tegasnya.
Sebelumnya, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono. Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)