Status hukum Pulau Kakabia atau juga dikenal dengan Pulau Kawi-Kawia yang termasuk ke dalam wilayah perbatasan pemekaran Kabupaten Buton Selatan sebagaimana tercantum dalam lampiran undang-undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kabupaten Buton Selatan konstitusional. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Rullyandi yang dihadirkan Pemerintah Kabupaten Buton Selatan dalam sidang materiil aturan batas Pulau Kakabia, Senin (3/12) di Ruang Pleno MK.
Permohonan dengan Nomor 24/PUU-XVI/2018 tersebut diajukan oleh Bupati Kepulauan Selayar Muh. Basli Ali tentang pengujian undang-undang terutama lampiran UU Kabupaten Buton Selatan yang memuat peta wilayah dan penjelasan UU Kabupaten Buton Selatan. Dalam penjelasan tersebut menyatakan bahwa keseluruhan luas wilayah Kabupaten Buton Selatan sekitar 509,92 km². Permohonan uji materi ini dilatarbelakangi oleh status Pulau Kakabia yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Buton Selatan berdasarkan UU Pembentukan Kabupaten Buton Selatan. Sedangkan menurut Pemohon, Pulau Kakabia merupakan wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar.
Terhadap permohonan tersebut, Rullyandi menilai kebijakan yang mencantumkan Pulau Kakabia sebagai bagian dari Kabupaten Buton Selatan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang telah mempertimbangkan berbagai aspek.
“Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan kebijakan hukum, open legal policy yang menunjukkan suatu jati diri/karakteristik daerah otonomi yang dibentuk dengan cara bij wetgeving bevoegdheid, dengan cara dibentuk oleh pembentuk undang-undang,” ujar Rullyandi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan pembentukan UU tersebut, di antaranya memperhatikan kemampuan ekonomi potensi daerah, sosial, budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan kemampuan keuangan. Selain itu, aspek lainnya yang diperhatikan terkait tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggara pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, serta kemasyarakatan. “Atas dasar inilah perlu dibentuk Kabupaten Buton Selatan yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton,” jelas Rullyandi.
Rullyandi juga menyebut terdapat relasi yuridis antara Pasal 5 ayat 2 UU Kabupaten Buton Selatan dan beserta bagian penjelasannya antara Kabupaten Buton Selatan dengan Kabupaten Buton. Persetujuan terkait pembentukan Kabupaten Buton Selatan terdapat tanda tangan Bupati Buton, Ketua DPRD Buton, Walikota Bau-Bau, Ketua DPRD Bau-Bau, serta Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara. Sementara dengan Kabupaten Selayar, sama sekali tidak memiliki relasi sama sekali.
“Di sisi lain, dalam Pasal 20 UU a quo menegaskan ketentuan peralihan yang menyebut untuk sementara waktu Kabupaten Buton Selatan dapat mengikuti Perda Kabupaten Buton selama tidak bertentangan dengan UU a quo. Hal ini selama belum adanya perda maupun perbup yang dibentuk Kabupaten Buton Selatan,” tegasnya.
Selain itu, Rullyandi menyarankan agar perselisihan batas daerah antardaerah provinsi tersebut diselesaikan oleh Mendagri sesuai dengan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah sebagai Primum Remedium penyelesaian administratif.
Sementara ahli sejarah La Niampe tidak membantah jika Pulau Kakabia bagian dari Kepulauan Selayar di zaman Belanda. Namun fakta ini dalam konteks hukum Belanda di masa lalu. “Adapun konsep Indonesia ada ketika kemerdekaan negara. Dimana setelah merdeka menimbulkan konsep aturan hukum yang berbeda dengan masa kolonialisme,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)