Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 – Perkara 48 dan 53/PUU-XVI/2018 pada Kamis (22/11). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Hamdi Muluk selaku Ahli yang dihadirkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Hamdi menjelaskan bahwa dalam teori pemungutan suara (voting) dan didukung temuan-temuan empiris, untuk bisa dipilih oleh pemberi suara (voters) maka seorang kandidat atau partai politik harus melewati tiga hukum besi, yaitu kedikenalan (popularity), kedisukaan (likeability) dan keterpilihan (electability).
“Sulit bagi kandidat atau parpol untuk disukai kalau ia tidak dikenal terlebih dahulu. Setelah ia dikenali secara meluas, barulah ia bisa untuk disukai. Setelah ia disukai tentulah baru ada kemungkinan ia untuk dipilih,” ucap Hamdi sebagai Pakar Psikologi Politik UI.
Dikatakan Hamdi, untuk menjadikan kandidat atau parpol bisa dikenali khalayak pemilih secara meluas diperlukan strategi dan waktu mencukupi untuk melakukan kegiatan sosialisasi secara memadai. Selayaknya undang-undang tidak memberikan batasan yang terlalu kaku atau memberikan resktriksi yang terlalu ketat, baik dalam jangka waktu dan metode tertentu untuk melakukan sosialisasi.
“Kegiatan sosialisasi partai politik memperkenalkan seluas-luasnya keberadaan dirinya. Dalam ini mencakup keseluruhan jati diri, seperti AD/ART, logo, lambang, motto, pengurus, ideologi, gagasan, program termasuk visi dan misi. Pengenalan yang luas dan menyeluruh dimaksudkan supaya publik dapat secara utuh mengenali sosok partai politik yang bisa jadi akan jadi pilihan politik bagi warga ketika hari pemungutan suara. Dalam hal ini jadi hak politik bagi warga untuk mengenali secara utuh sosok suatu partai politik. Sekaligus menjadi kewajiban bagi partai politik untuk mensosialisasikan keberadaan dirinya. Itu seharusnya dijamin oleh Konstitusi,” papar Hamdi.
Dalam hal ini, sambung Hamdi, undang-undang memang mengatur tentang apa yang disebut sebagai kampanye. Tetapi tidak mengatur apa yang disebut sebagai sosialisasi oleh partai politik. Hanya kampanye yang diatur oleh undang-undang.
“Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan atau citra diri peserta pemilu. Ketentuan ini bermasalah dengan frasa citra diri peserta pemilu,” ungkap Hamdi.
Tentang frasa citra diri, lanjut Hamdi, dalam ilmu psikologi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gambaran tentang diri seseorang yang diyakininya dan juga lewat usaha tertentu ingin ditampilkan kepada orang lain yang mengamati dirinya. Dalam hal ini yang ingin ditampilkan adalah keseluruhan jati dirinya berikut ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang, baik ciri fisik, sifat-sifat, tingkah laku bisa merupakan gambaran dari citra diri seseorang.
“Dengan kata lain, apa yang bisa ditampilkan sebagai usaha untuk membentuk citra diri adalah sangat luas dan sulit untuk dibatasi hanya pada aspek tertentu. Misalnya dalam konteks partai politik seperti lambang parpol, nomor urut, warna parpol, gedung parpol, sosok pengurus dan sebagainya,” tandas Hamdi.
Sebagaimana diketahui, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selaku Pemohon Perkara 48/PUU-XVI/2018 melakukan pengujian Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2) serta Pasal 276 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Menurut Pemohon, frasa “citra diri” pada Pasal 1 angka 35 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena dinyatakan sebagai bagian dari kegiatan kampanye pemilu. Sedangkan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena telah menimbulkan pembatasan bagi Pemohon untuk secara mandiri melakukan kampanye, membatasi partai politik baru yang mengindikasikan adanya kartel politik yang dilakukan partai politik lama serta merugikan hak konstitusional PSI sebagai partai politik baru. Karena tidak memberikan ruang untuk beriklan, selain melalui kanal yang disediakan KPU.
Sementara itu Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim sebagai Pemohon Perkara 53/PUU-XVI/2018 merasa dirugikan dengan sanksi pidana sebagaimana tercantum Pasal 429 UU Pemilu karena terancam oleh ketentuan pidana akibat kampanye pemilu di luar jadwal yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 492 UU Pemilu. Pemohon menilai hal tersebut akan menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk mewujudkan partai yang ideal bagi rakyat, dengan meminta masukan dan atau tanggapan dari masyarakat terkait dengan keberpihakan setiap perorangan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dan alasan memilih calon dalam kontestasi pemilihan umum. (Nano Tresna Arfana/LA)