Terpidana kasus Bank Century Robert Tantular menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang perdana perkara Nomor 84/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (18/10) siang.
Pemohon melakukan pengujian formil dan materiil Pasal 272 KUHAP serta Pasal 12 dan Pasal 65 KUHP. Bonni Alim Hidayat selaku kuasa hukum menyatakan pemberlakuan pasal tersebut merugikan Pemohon. Rumusan norma dalam pasal a quo tidak mencerminkan rasa keadilan hukum dan kemanfaatan karena pemberlakuannya menyebabkan Robert Tantular menjalani hukuman pidana melebihi aturan.
“Pihak penyidik dari Bareskrim Polri dengan sengaja mengajukan perkara Pemohon dipisah menjadi enam LP (Laporan Polisi) dan di P21-nya dengan cara dicicil-cicil, padahal semuanya terjadi di satu lokasi dan di satu rentang waktu yang sama (locus delicti) dan tempus delicti yang sama). Sehingga Pemohon harus menjalani 4 kali persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama 6 (enam) tahun dan mendapatkan 4 (empat) Putusan Pengadilan yang berbeda,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat tersebut.
Bonni menjelaskan dari empat putusan pengadilan yang dikenakan kepada Pemohon, seharusnya Pemohon menjalani hanya satu putusan pidana saja, yaitu putusan pidana yang terberat ditambah sepertiga. Akan tetapi, kenyataannya empat putusan pengadilan tersebut harus dijalani semua. Hal ini menyebabkan total maksimum pidana penjara yang harus dijalani oleh Pemohon adalah 21 tahun pidana penjara dan tambahan pidana kurungan selama 17 bulan sebagai subsidair pengganti denda. Untuk itulah, Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan kedua pasal tersebut.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan permohonan yang diajukan tidak efektif. Ia menilai permohonan terlalu banyak berisi argumen-argumen yang berupa pengulangan. “Mestinya Anda bisa mencari serat-seratnya atau semangat-semangatnya sehingga bisa dieliminasi sehingga lebih dikaitkan dengan sistematikanya,” tegasnya.
Suhartoyo menambahkan permohonan Pemohon tidak hanya untuk hakim konstitusi, namun juga untuk masyarakat luas. Ia meminta agar permohonan disesuaikan agar dapat dimengerti bagi masyarakat luas.
“Tapi perlu Anda-Anda ketahui, Permohonan di Mahkamah Konstitusi ini juga langsung di-publish di-website, kemudian akan dibaca oleh seluruh masyarakat yang membaca permohonan ini. Jadi, ada fungsi-fungsi edukasi, fungsi-fungsi penyuluhan di situ yang ini kok ada permohonan, tapi mungkin mutar-mutar, terlalu banyak argumen-argumen yang redundant atau bagaimana,” jelasnya.
Sementara Wakil Ketua MK Aswanto memandang hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma. “Pikir-pikir kembali kalau Saudara punya keyakinan bahwa mampu meyakinkan Mahkamah jika ini adalah persoalan norma, persoalan konstitusionalitas norma, Saudara boleh melanjutkan permohonan. Tapi kalau Saudara sesudah merenung dan Saudara sependapat dengan saya bahwa pasal yang diujikan adalah persoalan penerapan, Saudara bisa mengajukan permohonan untuk penarikan permohonan kembali,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)