Dalam menindaklanjuti kerja sama dengan The Hague University, MK menggelar recharging program bagi para pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi pada Senin (25/6) di Aula Gedung MK. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan pendalaman keilmuan bidang hukum bagi para pegawai.
Pada pembukaan acara yang diresmikan Ketua MK Anwar Usman tersebut turut hadir Hakim Konstitusi Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Sekjen MK M. Guntur Hamzah, Panitera MK Kasianur Sidauruk, Ketua European Court of Human Rights (ECtHR) Ganna Yudkivskadan perwakilan dari The Hague University Michail Vagias.
Melalui sambutannya, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan dalam situasi dan perkembangan zaman saat ini, pertukaran informasi dan berbagi ilmu pengetahuan antar-institusi dan negara merupakan hal yang lumrah. “Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak mengenal batas dan sekat antar-negara lagi sehingga suatu sistem di suatu negaradapat saja diadopsi secara utuh atau diadaptasi negara lain guna memperbaiki sistem di negara tersebut,” jelas Anwar.
Terkait dengan hal tersebut, lanjut Anwar, keberadaan MK di Indonesia adalah salah satu hasil dari pertukaran informasi dari negara lain yang telah lebih awal mendirikan lembaga seperti MK. Akhirnya pada 2003, Indonesia berhasil melahirkan lembaga MK dengan karakternya sendiri.
Pengadilan HAM Eropa
Ketua European Court of Human Rights (ECtHR) Ganna Yudkivska berbagi pengetahuan mengenai salah satu aturan dalam Konvensi Eropa, yakni Pasal 3 ayat (1). Dalam paparannya, Ganna menguraikan perselisihan pemilihan umum yang diatur dalam pasal tersebut hanya berkaitan dengan pemilihan legislatif dan tidak mencakup pemilihan daerah atau kota atau kepala negara. Namun demikian, ke-47 negara anggota diperbolehkan membuat putusan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan Konvensi Eropa terkait pasal tersebut selama memenuhi tiga kriteria, yaitu memiliki tujuan yang sah, berdasarkan undang-undang yang berlaku, serta penting bagi kebutuhan masyarakat demokrasi dan sesuai dengan tujuan yang sah.
Tak hanya mendapatkan materi terkait perselisihan pemilu di Eropa, para peserta pun dapat mengajukan perntanyaan dan berbagi pengetahuan yang berkaitan dengan perselisihan pemilihan umum yang ada di Indonesia. Salah satu pertanyaan yang diajukan peserta mengenai sistem pemilihan di Eropa yang menyerupai noken seperti di Papua. Ganna menyatakan sistem pemilihan khusus dapat dilaksanakan selama tidak menyalahi aturan. “Itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi,” terang Ganna.
Digital Rights
Hayyan Ul Haq yang merupakan pengajar di Utrecht University berbagi ilmu mengenai private dan digital rights yang masih belum mendapat bahasan mendalam pada perkembangan hukum di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia ranah privat dan digital rightsbaru sebatas pada kasus pencemaran nama baik di media sosial. Padahal, cerita Hayyan, telah menjadi bahasan sejak 1890 dan saat ini ranah tersebut menjadi bisnis.
Kegiatan bertajuk “General Course in Counstitutional Law: Comparative Perspective” ini akan digelar dari 25 Juni – 4 juli 2018 di Jakarta dengan menghadirkan beberapa ahli dari Pengadilan HAM Eropa, Supreme Court Netherlands, akademisi dari The Hague University, dan juga ahli dari Indonesia. (Sri Pujianti/LA)