Mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan menilai, secara formal Mahkamah Konstitusi (MK) hingga kini belum berwenang memutus perkara constitutional complaint (kerugian warga negara atas tindakan pemerintah) lantaran konstitusi belum mengaturnya. Mengingat jenis perkara constitutional complaint cukup banyak diajukan ke MK, dia menyarankan agar kewenangan ini mesti dikukuhkan lewat putusan MK yang nantinya dijadikan yurisprudensi.
“Seperti dasar kewenangan judicial review di Amerika Serikat lahir dari putusan pengadilan. Sebab, prinsip (konstitusi) tidak boleh ada peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi. Meski sebelumnya konstitusi Amerika tidak mengatur kewenangan itu,” ujar Maruarar kepada hukumonline beberapa waktu lalu.
Menurutnya, di negara manapun kebijakan/tindakan negara tidak boleh bertentangan dengan hukum atau konstitusi. “Bolehkah satu kebijakan pemerintah bertentangan dengan konstitusi, tentunya jawaban tidak boleh. Ketika ada kebijakan negara termasuk putusan pengadilan atau MA telah menghilangkan hak konstitusional warga negara, seharusnya dia bisa datang (gugat, red). Inilah yang disebut constitutional complaint,” kata dia.
Menurut dia, memasukkan kewenangan constitutional complaint secara formal melaluiperubahan UUD 1945 masih sulit. Soalnya, akan membutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah UUD 1945. “Kalau melalui perubahan UUD 1945 berat karena pertarungan politiknya sangat kuat,” ujar pria yang kini menjabat Rektor Universitas Kristen Indonesia ini.
Selama ini, setiap perkara yang masuk kategori constitutional complaint selalu dinyatakan tidak dapat diterima karena MK menganggap tidak berwenang. Sebagai seorang mantan hakim konstitusi, dirinya sering menangani perkara constitutional complaint hingga sampai para pemohonnya berurai air mata untuk meminta keadilan ke MK.
“Meski berurai air mata, dengan rasa sedih kita katakan ini tidak menjadi kewenangan MK sampai saat ini. Kalau hakim konstitusi berani mengambil sikap melalui case law, tentu sangat bagus. Ini dibutuhkan keberanian,” katanya.
Terpisah, Ketua MK Arief Hidayat mengakui, MK memang tidak berwenang mengadili dan memutus jenis perkara constitusional complaint. Hanya saja, kata dia, tak sedikit jenis perkara mirip constitutional complaint masuk melalui pengujian undang-undang (judicial review).
“Sebetulnya sudah mulai banyak muncul kasus yang berhubungan dengan constitutional complaint, meski sebenarnya kita belum punya aturan menguji itu,” kata Arief.
Meski begitu, selama ini MK tetap memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang sebenarnya mirip perkara constitutional complaint melalui pintu judicial review. Misalnya, saat pengujian undang-undang, pihaknya mencoba membuka sedikit (ruang) dengan melihat bobot legal standing, kerugian konstitusional warga negara (pemohon). Sebab, kalau legal standing-nya tidak ada yang ditolak.
“Terlepas pengujian undang-undang ini dikabulkan atau ditolak, itu masalah lain,” tandasnya.
Karena itu, dalam beberapa waktu ke depan, MK Indonesia akan menjadi tuan dalam Simposium Internasional MK se-Asia dan lembaga sejenis yang mengangkat tema “Contitutional Complaint”. “Dari simposium ini kita bisa melihat bagaimana praktik constitutional complaint di negara lain, seperti MK Perancis, Rusia, Jerman, Austria, dan lain-lain,” harapnya.
Menurutnya, dalam sebuah negara demokrasi, umumnya MK bisa menangani perkara constitutional complaint. “Dalam sebuah negara demokrasi konstitusional umumnya memberikan ini (constitutional complaint, red) kepada MK.”
Sebagai catatan, sejak MK berdiri hingga saat ini tren perkara constitutional complaint melalui pengujian UU memang semakin meningkat, setelah sebelumnya pemohonnya menempuh berbagai upaya hukum lain. Namun, MK tetap menyatakan menolak atau tidak menerima jenis permohonan ini karena konstitusi dan UU MK sendiri tak mengatur kewenangan itu.
Makanya, isu constitutional complaint bakal menjadi tema besar dalam pertemuan Asosiasi MK se-Asia dan lembaga sejenis di Jakarta yang rencananya digelar pada 14-16 Agustus 2015 mendatang. Dari pertemuan ini, MK Indonesia bisa banyak belajar dari negara lain yang telah memiliki pengalaman praktik cukup lama dalam melaksanakan kewenangan ini. Seperti, MK Afrika, MK, MK Jerman, MK Rusia, MK Austria. Ke depan, diharapkan MK Indonesia bisa lebih optimal melindungi hak konstitusional warga negara.