Pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Jamil menuturkan norma dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan UU No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji justru menjamin kepastian hukum bagi calon jemaah haji.
Dalil sejumlah calon jemaah haji yang menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji harus dimaknai hanya untuk yang belum menunaikan ibadah haji dinilai Pemerintah justru akan melanggar hak asasi manusia. “Jika pemerintah melarang umat Islam dalam menjalankan ibadahnya justru akan melanggar HAM bagi umat yang lain sebagaimana diamanatkan di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Abdul dalam sidang lanjutan perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (3/3).
Kendati demikian, imbuh pemerintah, untuk mempersingkat antrian yang panjang, perlu pengaturan bagi warga negara yang sudah pernah berhaji namun hendak menunaikan ibadah haji kembali. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lebih lanjut, terhadap ketentuan Pasal 5 UU Penyelenggaraan Haji yang mengatur tentang pembayaran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), pemerintah menilai setoran BPIH merupakan salah satu indikator kesiapan dan komitmen calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji yang dibayarkannya pada saat calon jemaah haji mendaftar. Jika setiap warga negara yang beragama Islam berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji tanpa adanya setoran awal BPIH, maka dapat menimbulkan kekacauan, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum karena penyelengaraan ibadah haji memerlukan perencanaan, pengelolaan dan transparansi, serta akuntabilitas, dan profesionalitas dalam pengelolaan tata keuangannya.
Selain itu, ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU Penyelenggaran Ibadah Haji yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam praktiknya KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) masih memungut biaya tambahan kepada calon jemaah haji, pemerintah berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) a quo, pembinaan haji pada dasarnya dilakukan oleh Pemerintah tanpa memungut biaya apa pun dari jemaah. “Jemaah memiliki kebebasaan untuk ikut atau tidak ikut bimbingan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, jika timbul biaya tambahan dalam bimbingan biaya haji tersebut, menurut Pemerintah sangat terkait dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, jemaah haji dan pihak pembimbing jemaah haji KBIH tersebut,” imbuhnya.
Asas Manfaat
Sementara terkait ketentuan sejumlah pasal dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji, menurut Pemerintah pengelolaan keuangan haji bertujuan meningkatkan kualitas penyelenggaran haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam. Oleh karena itu, pengelolaannya dibagi dengan dasar penerimaan, pengeluaran, dan kekayaan.
Pengelolaan keuangan haji yang dibayarkan ke rekening atas nama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) karena kedudukannya sebagai wakil sah dari jemaah haji pada kas haji. Hal tersebut dilakukan semata-mata pengelolaan keuangan haji dapat dikelola dengan baik dengan rasionalitas dan efisiensi, serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan sejumlah pasal dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Adapun Pasal 4 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan:
“Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat: a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan b. mampu membayar BPIH”
Menurutnya, aturan tersebut menjadi inkonstitusional bersyarat karena menyatakan setiap muslim dapat menjalankan ibadah haji lebih dari satu kali. Padahal masalah haji saat ini yang menjadi perhatian umum adalah soal kuota yang sangat terbatas. “Seorang calon jemaah haji harus membayar setoran awal atau apa pun sebutannya terlebih dahulu, padahal pelaksanaan ibadah haji masih sekitar 20 sampai 25 tahun lagi,” ujarnya, Selasa (27/1).
Dia menilai, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo harus dimaknai khusus untuk orang Islam yang belum pernah haji saja yang boleh haji, sedangkan yang sudah pernah haji tidak boleh haji apabila masih terdapat daftar haji tunggu atau waiting list. “Kenapa demikian? Karena dalam agama Islam ini kewajiban haji itu hanya sekali, al hajju maratun fama zaadaz fahuwa tathawwu, haji itu sekali, selebihnya adalah sunah,” imbuhnya.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan masalah setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat calon jemaah mendaftar haji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pemohon menilai pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan, seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan. (Lulu Hanifah)