Pada sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2014 untuk Provinsi Jawa Timur, Partai Demokrat sebagai Pemohon menghadirkan ahli, Refly Harun. Dalam keterangannya, Refly menyatakan bukan hanya penghitungan suara yang bermasalah di Kabupaten Sampang, pun juga proses pemungutan suara.
Dalam konteks Pemilu di Sampang, menurut Refly, ada dua hal substantif yang perlu ditanyakan. Pertama, apakah perolehan suara dihitung secara benar yang menggambarkan perolehan sesungguhnya dari proses pemungutan suara yang telah dilakukan. Kedua, apakah pemungutan suara dilakukan secara benar sesuai dengan prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil). Sebab, imbuhnya, perhitungan suara yang benar saja tidak cukup apabila pemungutan suara berlangsung dengan melanggar prinsip-prinsip Pemilu yang luber dan jurdil.
Pada permohonan yang teregistrasi nomor 10-07/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014, Pemohon pada pokoknya mendalilkan hal-hal berikut. Pemilih yang terdaftar dalam DPT ditolak untuk mencoblos dengan alasan surat suara sudah habis dan pemilih yang mencoblos hanya diberikan surat suara DPRD kabupaten/kota, sedangkan DPR, DPD, DPRD provinsi tidak diberikan.
“Kecurangan-kecurangan tersebut memperlihatkan bahwa dalam konteks Sampang, Madura, tidak hanya perhitungan suara yang bermasalah, melainkan juga proses pemungutan suaranya itu sendiri, bahkan prosesi Pemilu secara keseluruhan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip Pemilu yang luber dan jurdil. Termasuk pelanggaran hak untuk memilih dan hak untuk dipilih yang merupakan hak konstitusional,” jelas Refly di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta (9/6).
Menurutnya, bukan kali ini saja proses Pemilu di Kab. Sampang bermasalah. Pada Pemilu 2004, Refly menjelaskan adanya tim yang diutus untuk mengambil kotak suara dan ternyata kotak suara yang bisa dikumpulkan hanya 11. “Pemilu 2009 juga Sampang bermasalah, bahkan doktrin keadilan substantif (substansial justice) yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi antara lain dipicu oleh kasus Sampang dalam Pemilukada 2008,” imbuhnya.
Koreksi Perolehan Suara
Sementara ahli dari Partai Amanat Nasional (PAN) Said Salahuddin mengungkapkan Undang-Undang Pemilu telah mengatur suatu sistem koreksi untuk perolehan suara yang tergolong sebagai proses pemilu. Mekanisme koreksi tersebut juga dilakukan oleh peserta Pemilu dengan cara mengajukan keberatan kepada penyelenggara Pemilu.
Apabila muncul perdebatan atau perselisihan perolehan suara menurut peserta Pemilu dan penyelenggara Pemilu, Said menambahkan, mekanisme penyelesaiannya adalah melalui pengajuan perselisihan hasil pemilihan umum oleh peserta Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.
“Sementara, terkait keabsahan perolehan suara pada tahap rekapitulasi, Yang Mulia. Menurut ahli, perolehan suara peserta Pemilu yang ditetapkan oleh penyelenggara Pemilu pada pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap-setiap tingkatan, harus dinyatakan sudah benar dan sah sepanjang memenuhi beberapa indikator,” jelasnya
Pertama, menurutnya rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dilaksanakan secara berjenjang. Kedua, rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dilaksanakan dalam rapat yang dihadiri oleh saksi dan yang mendapatkan mandat dari peserta Pemilu dan pengawas Pemilu. Ketiga, rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dituangkan ke dalam dua dokumen, yaitu berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara oleh PPS, PPK, KPU kabupaten kota, KPU provinsi, dan KPU.
Selanjutnya, pada pelaksanaan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara memberikan kesempatan kepada saksi yang mendapatkan mandat tertulis untuk mengajukan keberatan dalam hal diajukan, dalam hal ditemukan adanya prosedur dan atau selisih penghitungan perolehan suara yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
“Terakhir, berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, cukup ditandatangani anggota PPS, PPK, KPU kabupaten kota, KPU provinsi, dan KPU, serta saksi peserta pemilu yang hadir dan bersedia menandatangani saja,” jelasnya. (Lulu Hanifah/mh)