Selasa (3/6), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014. Kali ini Panel 3 yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi serta didampingi Maria Farida Indrati dan Aswanto selaku anggota mendengarkan keterangan ahli dan saksi-saksi yang dihadirkan Partai Nasdem untuk Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Provinsi Lampung untuk memperebutkan kursi di Senayan.
Sebelumnya, Partai Nasdem mendalilkan telah terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung oleh KPU Provinsi Lampung. Pelanggaran tersebut dianggap Pemohon menyebabkan Partai Nasdem kehilangan suara dan kursi DPR di Dapil Lampung 1. Dapil tersebut meliputi wilayang Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kota Metro, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Lambung Barat.
Beberapa permasalahan yang terjadi di Dapil Lampung 1 menurut Partai Nasdem antara lain form C1 yang tidak ditandatangani petugas, form C1 yang tidak ditandatangani saksi, data jumlah perolehan suara tidak ditulis dengan huruf, terdapat coretan-coretan sehingga tidak jelas angka perolehan yang sesungguhnya, hingga penjumlahan angka dalam form C1 yang tidak sesuai dengan jumlah seharusnya.
Selain itu, partai yang baru mengikuti Pileg pada tahun 2014 ini juga mendalilkan telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pelanggaran TSM ditudingkan kepada Caleg Partai Hanura, Frans Agung Mula Putra yang dituduh telah menggerakkan aparatur Pemda Kabupaten Pasawaran yang dipimpin oleh adik kandungnya, yaitu Aris Sandi Dharma Putra.
Untuk membuktikan dalilnya, Partai Nasdem pada sidang kali ini menghadirkan Ahli Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin. Pada kesempatan itu Irman menjelaskan kriteria pelanggaran TSM. Ia mengatakan suatu pelanggaran yang dilakukan dengan terstruktur sudah pasti dilakukan dengan sistematis dan berintensi masif.
Irman melanjutkan, esesensi pelanggaran terstruktur adalah penggunaan kekuasaan yang digunakan untuk pemenangan Pemilu. Salah satu penggunaan kekuasaan dimaksud yaitu penggunaan satuan perangkat daerah seperti camat, lurah, dan PNS di daerah yang bisa dibuktikan dengan adanya perintah bukan rencana atau prakasa semata.
Pada prinsipnya, lanjut Irman, segala struktur kekuasaan tidak bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pemenangan Pemilu salah satu peserta, baik parpol maupun calon legislatif. “Fenomena organ eksekutif seperti kepala daerah memang rentan menggunakan struktur kekuasaan guna pendulangan suara untuk salah satu peserta Pemilu, baik untuk parpol maupun caleg. Posisi rentan ini karena kepala daerah mempunyai kekuatan kebijakan maupun pengaruh untuk menggerakkan sektor pemerintahan atau birokrasi di daerah, guna kepentingan pemenangan parpol atau calegnya,” terangnya.
Meski begitu, Irman juga mengatakan penggunaan struktur kekuasaan seperti itu tidak selalu terjadi. Biasanya, struktur kekuasaan digunakan dengan diboncengi praktek terlarang lainnya seperti politik uang. Pelanggaran tersebut pun tumbuh subur seiring dengan rendahnya pemahaman bernegara oleh rakyat atau pemilih akan sebuah proses demokrasi konstitusional seperti pesta demokrasi untuk memilih wakkil rakyat ini.
“Sebagai catatan, dari semua pelanggaran yang dianggap TSM adalah pembuktian akan akibat pelanggaran tersebut dengan signifikansi suara yang diperoleh oleh caleg terpilih karena jikalau tidak maka pelanggaran-pelanggaran ini akan bisa saja digolongkan sporadis. Beberapa preseden hukum konstitusi sendiri menyebutkan bahwa pada umumnya pelanggaran TSM didahului dengan adanya pertemuan-pertemuan untuk menyusun rencana dan strategi pemenangan peserta Pemilu. Pertemuan tersebut dilakukan dengan melibatkan struktur aparat birokrasi, tentunya biasanya adalah PNS. Syarat pelanggaran TSM sangat penting untuk mengukur atau menilai adanya signifikansi terhadap perubahan perolehan suara Pemohon,” papar Irman. (Yusti Nurul Agustin/mh)