Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) 2014 yang dimohonkan oleh DPP Partai Hanura - Perkara No. 02-10/PHPU-DPR-DPRD/XII/2014 - pada Jumat (23/5) pagi. Partai Hanura diwakili tim kuasa hukumnya, di antaranya hadir Elza Syarief dan Gusti Randa.
Dalam permohonannya, Partai Hanura menggugat hasil rekapitulasi Pemilu Legislatif di 24 provinsi yang berjumlah 91 perkara. Dari seluruh perkara tersebut, 20 perkara terkait perolehan suara parpol di tingkat DPR yang meliputi Sumatera Utara II, Kepulauan Riau I, Sumatera Selatan II, Lampung II, DKI Jakarta II, DKI Jakarta III, Jawa Barat V, Jawa Barat VI, Jawa Barat VII, Jawa Barat IX, Jawa Barat XI, Jawa Tengah IV, Jawa Tengah VI, Jawa Tengah IX, Jawa Timur V, Jawa Timur VI, Jawa Timur VII, Jawa Timur VIII, Kalimantan Selatan I dan Papua I. Ditambah dengan 31 perkara terkait perolehan suara parpol di tingkat DPRD Provinsi, serta 40 perkara di DPRD Kabupaten/Kota.
Partai Hanura menilai telah terjadi kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan KPU dalam perhitungan suara nasional di berbagai dapil yang mengakibatkan Partai Hanura kehilangan kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Di samping itu Partai Hanura menilai KPU salah dalam melakukan penyelenggaraan Pemilu, sehingga harus dilakukan Pemilu ulang di sejumlah daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Nias Selatan, Mentawai dan lain-lain.
Hal lainnya, Partai Hanura menemukan sejumlah fakta di lapangan bahwa telah terjadi banyak kecurangan dan pelanggaran berupa penggelembungan suara parpol lain oleh penyelenggara Pemilu. Termasuk juga adanya saksi-saksi Partai Hanura tidak diberi formulir C1 dan D1 untuk ditandatangani, terjadi pembukaan surat tanpa dihadiri saksi parpol, serta adanya praktik politik uang.
Nasihat Hakim
Menanggapi apa yang menjadi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi justru mempertanyakan pemberian kuasa oleh Partai Hanura. “Hanura memberikan kuasa kepada 29 orang, 39 orang, 13 orang atau 16 orang? Ini kalau dihitung berdasarkan perspektif yang berbeda-beda bisa menjadi lain. Oleh karena itu pastikan jumlahnya,” ucap Fadlil.
Hal kedua, ujar Fadlil, soal tidak adanya surat kuasa khusus. “Satu, Sony Sudarsono. Kemudian ada Rina Ana Irene Sinaga, Sri Utami, Muslim. Khusus untuk ini, nasehat hakim, pastikan yang mana. Untuk pengadilan kan surat kuasanya khusus, sekurang-kurangnya mengenai tiga soal yaitu forum pengadilan, nomor perkara, locus-nya di mana dan mengenai siapa,” jelas Fadlil.
Berikutnya, Fadlil menyoroti subjek hukum yang mempersoalkan Hanura tidak dijelaskan lebih spesifik. “Secara lebih spesifik mengenai siapa, untuk DPR dan Dapil mana? Berdasarkan putusan itu, dia mendapat berapa suara?” ungkap Fadlil.
Selain itu, lanjut Fadlil, ada persoalan yang berbau Pemilukada kalau melihat gaya bahasa dalam permohonan. “Supaya hal ini diubah karena paradigmanya agak berbeda. Kalau Pemilukada kan subjeknya pasangan, sedangkan Pemilu legislatif kan perorangan calon anggota legislatif. MK lebih suka menyebut dengan istilah calon anggota lembaga perwakilan DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota” urai Fadlil.
Selanjutnya, Fadlil menilai permohonan Partai Hanura masih tidak konsisten. Soal dapil misalnya, di posita ada, tetapi tidak ada di petitum. Atau sebaliknya, ada di petitum tetapi di posita tidak ada.
“Oleh karena itu, sekali lagi, hal-hal yang itulah yang ditemukan oleh hakim untuk dinasehatkan kepada Saudara,” tandas Fadlil kepada tim kuasa hukum Partai Hanura. (Nano Tresna Arfana/mh)