Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) Rumah Sakit yang dimohonkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah, Kamis (22/5). Mahkamah menyatakan rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum bersifat nirlaba (nonprofit), seperti yang dimiliki Muhammadiyah, tidak harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.
Sebelumnya, Muhammadiyah menggugat ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit yang memerintahkan RS yang didirikan swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Dalam pasal tersebut, frasa “yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan” dianggap telah menghalangi usaha Pemohon untuk dapat mengelola rumah sakit. Sebab, sebagai organisasi masyarakat, Muhammadiyah telah lama bertindak sebagai pendiri dan pengelola rumah sakit meski tidak berbadan hukum khusus untuk bidang perumahsakitan. Dengan kata lain, rumah sakit yang dimiliki Muhammadiyah tidak diakui sehingga menyebabkan pemberian izin tertentu sulit didapatkan. Padahal, Muhammadiyah memastikan rumah sakit yang mereka dirikan ditujukan untuk sosial semata.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan yang mengharuskan rumah sakit bersifat nirlaba berbentuk badan hukum khusus untuk usaha perumahsakitan telah mengabaikan hak dari perkumpulan atau yayasan yang bertujuan sosial. Terlebih, rumah sakit tersebut dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang belum sepenuhnya dapat disediakan oleh pemerintah.
Selain itu, Mahkamah juga beranggapan keharusan untuk mengubah badan hukum perkumpulan atau yayasan yang selama ini telah menyelenggarakan penyediaan fasilitas rumah sakit akan mengakibatkan risiko ditutup atau terhentinya pelayanan rumah sakit yang ada. Tentu saja hal itu bertentangan dengan maksud pembentukan Undang-Undang RS. Apalagi apabila perkumpulan atau yayasan yang sekarang mengelola rumah sakit mengalami kesulitan untuk mengubah bentuk badan hukum penyelenggaran rumah sakit yang terpisah dari badan hukum induknya. Hal demikian secara tidak langsung akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
Terkait perlindungan terhadap rumah sakit, Mahkamah menyatakan perlindungan bukan hanya dapat diberikan manakala usaha rumah sakit tersebut berbentuk badan hukum yang khusus bergerak di bidang perumahsakitan. Rumah sakit yang berbentuk badan hukum lain pun, karena sifatnya sebagai badan hukum, tentu harus mendapatkan jaminan akan keberlangsungan unit usaha yang berada di bawah naungannya berdasarkan Konstitusi.
“Jika Pasal 7 ayat (4) UU 44/2009 dan Penjelasannya dimaksudkan oleh pembentuk Undang-Undang untuk memberikan perlindungan kepada rumah sakit dari risiko adanya kerugian unit usaha lain selain rumah sakit yang berada di bawah badan hukum yang sama, maka menurut Mahkamah potensi terjadinya kerugian atau kegagalan unit usaha rumah sakit dimaksud hanya terjadi pada badan hukum perseroan terbatas yang melaksanakan usaha rumah sakit privat dan risiko demikian tidak terjadi pada badan hukum swasta yang nirlaba, misalnya perkumpulan atau yayasan,” ujar Wakil Ketua MK Arief Hidayat membacakan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 38/PUU-XI/2013 itu.
Lebih lanjut, Mahkamah menilai pembentuk undang-undang (UU RS) telah salah mempersepsikan seluruh rumah sakit sebagai “usaha”. Padahal, Mahkamah memahami bahwa tidak selalu rumah sakit itu sebagai badan usaha, contohnya rumah sakit yang dilaksanakan oleh badan-badan sosial maupun yayasan dan perkumpulan yang merupakan bagian dari kegiatan amal sosial. Dengan demikian, keharusan membentuk badan hukum khusus untuk menyediakan fasilitas pelayanan rumah sakit tidak dapat diberlakukan sama untuk semua rumah sakit. Ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan bagi rumat sakit publik yang tidak bertujuan profit.
Dalam amar putusannya, Mahkamah pun menyatakan frasa “yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan” dalam Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit inkonstitusional bersyarat.
“Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ‘Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba’,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva. (Yusti Nurul Agustin/mh)