Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) tidak memberikan perlakuan yang berbeda atau yang dikenal dengan diskriminatif terhadap setiap orang untuk ikut serta dalam pemerintahan atau jabatan publik. Hal ini disampaikan oleh Reydonnizar Moenek selaku perwakilan Pemerintah dalam sidang pengujian UU Pileg yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Pemerintah, hak atas pengakuan, hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum tidak lah secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik yang sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon. “Hak untuk turut serta dalam berpemerintahan melainkan lebih pada konteks penerapan prinsip yang selama ini kita kenal sebagai due process of law dalam negara hukum yang demokratis, vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa adanya syarat-syarat sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, seperti tercantum dalam ketentuan tersebut di atas adalah sejatinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakin Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden. Guna menentukan syarat-syarat tertentu termasuk adanya syarat standar moral tertentu, yakni moral etik sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatan publik yang bersangkutan. “Dan karenanya menurut Pemerintah pilihan hukum atau legal policy demikian tidaklah sepatutnya dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang dalam hal ini willekeur dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang,” ungkap Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga tersebut.
Permohonan ini diajukan oleh mantan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kota Palu yang juga bakal calon legislatif DPRD Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah dari Partai Nasdem Aziz Bestari. Dalam pokok perkara dengan No. 29/PUU-XII/2014 ini, Aziz merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) huruf g UU Pileg dan Pasal 58 huruf f UU Pemda. Kedua pasal tersebut menyatakan bakal calon legislatif harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Aziz menyampaikan ia gagal menjadi calon legislatif pada Pemilu 2014 ini sebab dirinya pernah menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kota Palu selama 6 bulan sejak 25 Juni 2012 sampai dengan 22 Desember 2012 dalam kasus penggunaan surat palsu.
Sebelumnya, Aziz sjuga sudah mengadukan kasusnya kepada Bawaslu dan DKPP. DKPP pun menyatakan perkara pidana yang menimpa Aziz merupakan perkara politik sehingga ketentuan dalam kedua pasal tersebut tidak bisa dijatuhkan kepadanya. Namun, setelah memohon kembali kepada KPU untuk diloloskan sebagai calon legislatif, permohonan Aziz belum mendapat balasan sampai surat suara dicetak. Aziz pun khawatir nasib yang menimpanya akan berulang pada calon lainnya maupun pada dirinya sendiri ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun mencalonkan diri untuk kursi eksekutif. (Lulu Anjarsari/mh)