Mahkamah Konstitusi memutus tidak dapat menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang dimohonkan oleh seorang penyedia jasa konstruksi, Kisman Pangeran.
Mempertimbangkan dalil Pemohon, MK menilai permohonan Pemohon tidak jelas maksud dan tujuannya. Di satu sisi, Pemohon menginginkan pengakuan agar dapat masuk dalam lembaga pengembangan jasa konstruksi seperti yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dan huruf b UU Jasa Konstruksi. Namun di sisi lain, di dalam sebagian posita (dasar permohonan) dan petitum (permintaan) permohonannya, Pemohon menginginkan Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Dengan demikian, seandainya sebagian dalil Pemohon tersebut benar dan permohonan dikabulkan oleh Mahkamah dengan menyatakan Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945, justru hal yang diinginkan oleh Pemohon untuk diakui sebagai bagian dari lembaga pengembangan jasa konstruksi menjadi tidak ada norma yang mengakomodasinya,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan hukum di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu (7/5).
Sehingga dengan demikian, menurut MK, antara posita dengan petitum permohonan Pemohon saling bertentangan satu sama lain. Selain itu, Pemohon juga tidak menjelaskan secara rinci apakah ketika Pemohon tidak masuk dalam lembaga pengembangan jasa konstruksi, Pemohon tidak dapat melakukan kegiatan jasa konstruksi dan menyediakan tenaga teknis konstruksi. Padahal MK dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah memberikan nasihat mengenai hal itu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut MK permohonan Pemohon kabur, sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK.
Sebelumnya Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 33 ayat (1) UU Jasa Konstruksi. Menurutnya, isi pasal tersebut sumir dan mengada-ada. Pasal 33 ayat (1) berbunyi:
Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari:
a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
b. asosiasi profesi jasa konstruksi.
Pasal tersebut dinilai tidak menjelaskan maksud dari Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi dan Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi. Selain itu tidak ada paparan tentang status hukum kedua jenis asosiasi tersebut yang menyebabkan keterwakilan keduanya dalam Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sumir, kabur, mengada-ada, dan melanggar hak asasi manusia sehingga bertentangan dengan konstitusi.
“Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi diduga mengabaikan ketentuan UUD 1945 karena seluruh penyedia jasa dan tenaga ahli/terampil konstruksi di Indonesia diharuskan untuk menjadi anggota kedua jenis asosiasi tersebut,” ujar Kisman saat membacakan permohonannya pada sidang perdana, Kamis (20/3).
Lebih lanjut, pasal tersebut pun disinyalir menyebabkan timbulnya potensi kerugian bagi setiap penyedia jasa dan tenaga ahli/terampil konstruksi. Kerugian tersebut berbentuk tidak terbukanya akses untuk dapat berkiprah sebagai kelompok unsur Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
“Padahal sebetulnya Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi dan Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi tidak berhak mewakili penyedia Jasa dan Tenaga Ahli/terampil konstruksi sebagai unsur Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi karena penyedia Jasa dan Tenaga Ahli/terampil konstruksi tidak wajib menjadi anggota kedua jenis asosiasi tersebut,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/mh)