Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Saurip Kadi, seorang purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengajukan uji materi tehadap empat undang-undang sekaligus, Rabu (7/5). Mahkamah berpendapat permohonan Saurip yang menggugat ketentuan parliamentary threshold, presidential threshold, pergantian antar waktu (PAW) bagi anggota legislatif, dan keberadaan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dalam Paket UU Bidang Politik tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Saurip mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 208 UU Pileg, Pasal 3 Ayat (5) dan Pasal 9 UU Pilpres, Pasal 12 huruf e, g, dan h UU Partai Politik, serta Pasal 80 UU MD3. Pemohon beranggapan pengaturan tentang ambang batas perolehan suara untuk mendapatkan kursi di parlemen (parliamentary threshold) telah menciderai hak konstitusional rakyat, terutama bagi calon legislatif dan Pemohon sebagai pemilih. Pemohon beralasan, Pasal 208 telah melanggar hak konstitusional rakyat yang telah memilih calon legislatif saat Pemilu. Sebab, menurut ketentuan pasal tersebut, penentuan kursi di parlemen malah ditentukan berdasarkan pada persentase perolehan suara partai politik, bukan dukungan terhadap caleg itu sendiri. Seharusnya, melalui Pemilu langsung, kehendak rakyat sama sekali tidak ada hubungannya dengan partai politik.
Gugatan senada pun dilayangkan Saurip terhadap ketentuan hak PAW yang dimiliki oleh Parpol. Menurut Pemohon, kewenangan Parpol untuk menunjuk anggota parlemen PAW sesuai Pasal 12 huruf g dan h UU Parpol telah menghilangkan hak konstitusional anggota legislatif yang digantikan.
Terhadap dalil tentang hak mengajukan anggota parlemen PAW tersebut, Mahkamah merujuk pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006. Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan partai politik berhak untuk mengusulkan PAW anggotanya di DPR dan DPRD serta mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPR dan DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tidak tepat mempertentangkan antara kebijaksanaan dan program kerja partai politik dengan kepentingan rakyat. Sebab, kebijaksanaan dan program kerja partai politik sejatinya adalah pemaduan (agregasi) yang dilakukan oleh partai politik dari berbagai kepentingan rakyat yang beragam. Bila seorang anggota parpol telah terpilih untuk duduk di parlemen maka ia harus mematuhi aturan parpolnya. Bila tidak mematuhi, Parpol berhak memberhentikannya dan juga berhak mengajukan anggota parlemen PAW-nya.
Sementara terhadap dalil Pemohon mengenai parliamentary threshold, Mahkamah mengatakan Pasal Pasal 208 UU Pileg tidak bertentangan dengan Konstitusi. Mahkamah beralasan, pasal tersebut sejatinya hanya memuat persyaratan objektif bagi semua parpol tanpa kecuali untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Terlebih, ketentuan parliamentary threshold 3,5 persen merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU sebagai politik penyederhanaan kepartaian yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tukas Ketua MK, Hamdan Zoelva. (Yusti Nurul Agustin/mh)