Sidang pengujian Undang-Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum - Perkara No. 42/PUU-XII/2014 – digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/5) siang. Pemohon adalah Soetopo dkk. yang melakukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Kami mohon penegasan Mahkamah Konstitusi, karena dalam UU No. 2 Tahun 2012, khususnya Pasal 1 ayat 10 berbunyi bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah,” kata Soetopo kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Menurut Soetopo, pasal tersebut berpotensi terjadinya multitafsir. “Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil itu menurut siapa? Karena kami berhadapan dengan pihak-pihak lain, pembebas tanah yang ukuran dan tujuannya mungkin berbeda,” ucap Soetopo yang menuntut ganti rugi akibat tanahnya digunakan untuk jalan tol.
“Sebelumnya kami sudah mempelajari Perpres 36 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik yang bersifat fisik dan atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial, ekonomi, sebelum terkena pengadaan tanah,” urai Soetopo.
Pemohon beranggapan, Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah tersebut merupakan suatu kemunduran yang memberikan ketidakjelasan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk menjamin kepentingan Pemohon. “Bukan hanya kami, tapi semua warga negara Indonesia yang memiliki tanah dan terkena proyek pembebasan tanah untuk kepentingan umum, mungkin akan mengalami hal yang sama,” ujar Soetopo.
Dalam hal ini, Pemohon berharap agar MK dapat memberikan kejelasan tentang undang-undang tersebut. Khususnya masalah definisi ganti kerugian yang adil. “Dalam hal ini menurut kami, yang paling nyaman bagi kami sebagai warga negara adalah sebagaimana yang telah kami kemukakan, sebagaimana pernah diungkap, justru oleh bukan undang-undang, tapi oleh Perpres sebelumnya,” imbuhnya.
“Karena pembangunan jalan tol akan berjalan terus, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Sehingga pemilik lahan yang sebagian besar rakyat yang berpendidikan dan berwawasan terbatas, tidak menjadi korban pemiskinan dengan intimidasi dan ancaman baik terang-terangan ataupun terselubung yang tidak mereka sadari,” tambah Soetopo.
Menanggapi apa yang dijelaskan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyarankan agar Pemohon menceritakan lebih detail kerugian yang dialami. “Bapak harus menceritakan kerugian apa yang Bapak alami? Sebab kalau orang berperkara ke sini, mengajukan permohonan ke sini itu syaratnya dua. Pertama dia mengalami kerugian secara konstitusional atau dia memiliki potensi untuk dirugikan. Dalam permohonan Bapak belum kelihatan. Kedua, nanti coba tolong dibaca lagi undang-undangnya itu, karena sekarang ini Bapak mengujikan ketentuan-ketentuan umum ini, Pak,” ujar Patrialis.
Sedangkan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menasehati Pemohon terkait pokok permohonan. “Bapak baru cerita hal-hal yang bersifat konkret, berupa peristiwa. Sementara Mahkamah Konstitusi tidak mengadili peristiwa konkret seperti pembunuhan, pencurian, penggelapan. Yang diadili Mahkamah Konstitusi itu adalah norma. Pertanyaan besarnya, norma itu konstitusional apa tidak?” tanya Fadlil.
“Oleh karena itu, yang harus dijelaskan adalah inkonstitusionalitas norma dalam Pasal 1 itu. Kalau merugikan secara konstitusional, seperti apa, gambarkan ya Pak,” tandas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)