PT. Laman Mining, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) bauksit di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang diwakili Iskandar Itan mengaku dengan adanya larangan ekspor bijih mentah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kegiatannya secara total saat ini berhenti.
Ia menjelaskan telah menanamkan investasi sejak 2009 setelah mendapat IUP untuk eksplorasi. Pada 2012, pihaknya mendapatkan IUP untuk produksi. Seiring dengan itu, ia mulai melakukan pembangunan infrastruktur dan melakukan beberapa persiapan untuk melakukan produksi. “Namun kemudian kita diminta untuk mengurus beberapa perizinan untuk bisa melakukan ekspor. Setelah mendaptkan perizinan tersebut pada sekitar April 2013, kami mencoba memulai. Tetapi sepertinya ekspor tidak bisa dilakukan lagi sejak awal 2014,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 10/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva di ruang sidang pleno, Gedung MK, Rabu (7/5).
Sehingga, imbuhnya, apa yang telah pihaknya bangun kini terbengkalai, termasuk investasi yang telah dikeluarkan sampai mencapai Rp70 miliar. Masyarakat setempat yang menjadi rekanan pun ikut terkena dampaknya. “Sehingga begitu banyak dampak yang begitu luas. Kami juga merasa bahwa apakah tidak memungkinkan bahwa ada semacam jalan keluar buat kami, agar kami bisa bereksplorasi,” sambungnya.
Iskandar juga yakin banyak sekali perusahaan sejenisnya yang sama sekali belum sempat berproduksi, tapi sudah tidak dapat berproduksi karena ada larangan tersebut. Ia pun mengaku telah mencari informasi terkait smelter yang sudah terbangun di Indonesia. “Dapat dikatakan kami bisa berproduksi dan menjual smelter tersebut, tapi sampai saat ini tidak ada kepastian smelter kapan bisa selesai karena adanya beberapa kendala juga di pembangunan tersebut,” ungkapnya.
Direktur PT Pulau Rusa Tamita, Ferdinand Iskandar, pemegang IUP biji nikel yang juga dihadirkan sebagai saksi juga menjelaskan hal serupa. Sejak 2008, perusahaannya memutuskan untuk terjun ke bidang pertambangan biji nikel di Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menjual mineral mentah keluar negeri. Setelah memperoleh IUP operasi produksi, perusahaannya melakukan penambangan dan ekspor bijih nikel pada akhir tahun 2010. Namun kegiatannya sempat terhenti tahun 2012 dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012.
“Kami pun lanjutkan berusaha setelah mengantongi rekomendasi kementerian perdagangan c.q. Dirjen Perdagangan Luar Negeri dengan surat pengakuan ETPP eksportir terbatas, tertanggal 30 Mei 2012 dan masih berlaku sampai saat ini, tetapi surat tersebut tidak dapat kami tindak lanjuti karena larang ekspor. Kemudian surat persetujuan ekspor biji nikel yang mulai kami peroleh tanggal 19 Juni 2012,” paparnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) yang diwakili kuasa hukumnya, Refly Harun menilai pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor bijih (raw material) secara langsung yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai Pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujar Refly. (Lulu Hanifah/mh)