Merasa haknya untuk memberikan suara dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif pada 2014 dihalangi, sebanyak empat orang warga negara yang tergabung dalam Team Independen Peduli Pemilu BTN-Jurdil 2014, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam sidang dengan nomor perkara 43/PUU-XII/2014, Rabu (7/05/2014), para Pemohon melalui kuasa hukumnya yang juga menjadi salah satu pemohon dalam perkara ini, Ivonne J.V. Purba, mengatakan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Anwar Usman bahwa mereka tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pemohon juga mempersoalkan alamat di dalam kartu identitas para Pemohon berbeda dengan tempat tinggal saat ini, meski telah melakukan proses administrasi dengan penyelenggara Pemilu di daerah asal pemohon, namun hingga sampai saat ini setelah pemungutan suara Pemilu legislatif dilaksanakan, Pemohon tetap tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
“Ada banyak orang lain tidak dapat memilih dikarenakan ketidakseragaman peraturan sehingga membingungkan, dan perlu mondar-mandir mengurus pendaftaran pemilihan,” ujar Ivonne. Ivonne mengaku, para Pemohon akhirnya memutuskan untuk tidak ikut memilih karena rumitnya proses administrasi yang harus ditempuh untuk tetap dapat ikut memilih. Para Pemohon juga menilai, ketentuan yang mengatur pemilih untuk dapat berpartisipasi dalam Pemilu legislatif dalam UU ini saling bertentangan satu sama lain, sehingga Pemohon menganggap hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan kerugian konstitusional bagi mereka.
Dengan argumentasi itu, Pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur syarat warga negara terdaftar dalam DPT dan tata cara perbaikan DPT, serta memberikan rekomendasi kepada DPR untuk membuat peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut.
Pernah Diputus MK
Terhadap permohonan para Pemohon, Ketua Sidang Hakim Konstitusi Anwar Usman, memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperjelas kerugian konstitusionalnya, karena permasalahan penggunaan KTP atau identitas lainnya yang sah pernah diputus oleh MK. Anwar juga mengingatkan kepada para Pemohon bahwa MK bukan pembuat UU dan tidak dapat memberikan masukan pada DPR.
Hal senada juga disampaikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, bahwa yang memiliki kewenangan untuk membentuk UU adalah DPR bersama Presiden, selain itu MK tidak pernah membatalkan UU, karena MK tidak lebih tinggi dari DPR dan Presiden. “MK hanya menyatakan suatu norma dalam UU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD),” ujar Alim.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat agar Ivonne untuk memilih posisi dalam permohonan ini, apakah sebagai Pemohon atau sebagai kuasa hukum. Selain itu Wahiduddin mengingatkan bahwa MK tidak dapat memerintahkan pembentuk UU untuk mengeluarkan peraturan pelaksana UU.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonannya. (Ilham/mh)