Apabila dalam menjalankan salah satu sistem kenegaraan seperti pemilu, jika masing-masing daerah atau suku tetap mempertahankan cara-cara kedaerahan dan kesukuan dalam pelaksanaannya, maka akan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang kompleks dalam pelaksanaan ketatanegaraan tersebut. Hal ini disampaikan oleh perwakilan pemerintah, Reydonnizar Moenek, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (6/5). Calon Anggota Legislatif dari Provinsi Papua Isman Ismail Asso mengajukan permohonan uji materi ke MK dengan Nomor 31/PUU-XII/2014 tersebut.
Menurut Reydonnizar, Pemilu bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Ketentuan-ketentuan ini tentunya mengandung arti mengharuskan anggota legislatif harus dipilih secara demokratis yang harus memiliki ukuran-ukuran tertentu seperti adanya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
”Adanya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu langsung yang bisa menghasilkan pemerintahan yang legitimate dan terdapat persaingan yang adil dari para peserta pemilhan anggota legislatif langsung. Ukuran-ukuran tersebut harus tercermin dalam proses apa yang kita kenal sebagai electoral law yakni apakah itu asas, apakah itu sistem, apakah itu hak pilih, apakah itu pilihan negara dan lain-lain dalam paham electoral law,” paparnya.
Untuk itu, lanjut Reydonnizar, Pemerintah menolak permohonan pengujian para pemohon seluruhnya. Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan cara pemberian suara hanya dengan cara mencoblos seperti tercantum dalam Pasal 154 UU Pileg bertentangan dengan 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 154 UU Pileg menyebutkan “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara”. Dalam praktik Pemilu di Indonesia, Pemohon menjelaskan, khususnya di beberapa Kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua, pemberian suara pada Pemilu tidak dilakukan dengan pencoblosan/pencontrengan melainkan dengan sistem ikat suara atau aklamasi atau kesepakatan yang dikenal dengan nama sistem noken. Padahal, lanjut Pemohon, dalam sejumlah perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Papua, MK dalam putusannya telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin oleh UUD 1945.
Hal ini menjadi masalah di masyarakat karena ketentuan formal dalam Pasal 154 UU Pileg dan Peraturan Teknis Komisi Pemilihan Umum secara tegas menyatakan pemberian suara pada pemilihan umum legislatif dilakukan dengan cara mencoblos sehingga KPU Provinsi Papua menolak untuk menerima pemberian suara dengan sistem noken pada Pemilu legislatif yang akan datang. Menurut Pemohon, Pembuat Undang-Undang dan Penyelenggara Pemilu tidak boleh melanggar pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 18B UUD 1945. Untuk itulah, Pemohon meminta kepada MK agar pemberlakuan frasa “mencoblos” pada Pasal 154 UU Pileg konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). (Lulu Anjarsari/mh)