Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitusional importance (memiliki derajat yang sama pentingnya dengan lembaga-lembaga yang eksplisit disebutkan dalam UUD) dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapat tujuan bernegara, dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Isa Racmaturwata, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Senin (5/5) di Ruang Pleno MK.
“OJK sama halnya dengan lembaga-lembaga negara independen yang lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat dan Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya adalah merupakan contoh lembaga dan atau komisi baru yang bersifat independen, dan memilik fungsi campuran, dan dibentuk berdasarkan undang-undang, dan memiliki sifat constitusional importance,” papar Isa di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, lanjut Isa, undang-undang mengenai pendirian OJK ditujukan agar pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara sub sektor jasa keuangan menjadi lebih baik, sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif. “Pengintegrasian pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan tersebut merupakan keniscayaan mengingat semakin kompleksnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan, dan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pecegahan krisis keuangan di masa yang akan datang,” jelasnya.
Sementara DPR yang diwakili oleh Harry Azhar Azis juga memberikan keterangannya dalam persidangan ini. Ia mengungkapkan pengaturan dan pengawasan tentang keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi oleh lembaga OJK. Hal ini ditujukan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara secara berkelanjutan dan stabil. “Selain itu juga, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dengan tujuan ini ojk sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan keseluruh lembaga yang bergerak di sektor jasa keuangan diharapakan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional hingga mampu meningkatkan daya saing internasional,” paparnya.
Selain itu, pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK merupakan pelaksanaan mikroprudensial perbankkan. Sedangkan pengawasan fungsi moneter yang dilakukan Bank Indonesia merupakan pelaksanaan fungsi makro prudensial perbankan. “Pelaksanaan fungsi makroprudensial dan mikroprudensial harus dipisahkan dalam lembaga yang berbeda. Hal ini untuk menghindari terjadinya penumpukkan kewenangan dalam satu tangan pada sektor keuangan khususnya dibidang perbankan,” ungkapnya.
Dalam pokok permohonannya, sejumlah pemohon perseorangan yang tergabung dalam Tim Pembela Ekonomi Bangsa menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai melebihi kewenangannya dibandingkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut. (Lulu Anjarsari/mh)