Kewajiban pengunduran diri bagi pegawai negeri Sipil (PNS) yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimohonkan uji materil oleh sejumlah PNS di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (5/05/2014).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat, para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Sunggul Hamonangan Sirait menyatakan, kewajiban pengunduran diri yang diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASPN telah membatasi perolehan/pemenuhan hak para Pemohon dan aparatur sipil negara lainnya untuk turut serta dalam pemerintahan dalam kontestasi politik untuk bekerja memegang amanat, menjalankan jabatan-jabatan yang ditentukan, yakni jabatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur; Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Pemohon berargumen bahwa setiap warga negara, termasuk PNS, seharusnya memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sunggul mengatakan, para Pemohon, sebagaimana warga negara Indonesia lainnya, juga berhak untuk bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif, termasuk diskriminasi yang dimunculkan dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, yang membatasi hak para Pemohon karena status sosial para Pemohon sebagai PNS/aparatur sipil negara. Sementara salah satu Pemohon, Rahman Hadi, mengatakan bahwa kedua pasal yang dimohonkan diuji oleh Pemohon juga tidak sejalan dengan aturan lain dalam UU yang sama, Pasal 121 UU ASN, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kepada para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat agar Pemohon dapat menjelaskan kedudukan hukumnya, terutama dikaitkan dengan Pasal 119 yang menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”. Wahiduddin meminta kepada para Pemohon, apakah memiliki bukti sebagai pejabat pimpinan tinggi madya dan/atau pejabat pimpinan tinggi pratama.
Sementara Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengingatkan kepada para Pemohon untuk mempertajam argumentasinya dengan melihat beberapa putusan MK terkait dengan tata cara dan syarat pengisian jabatan yang diatur dalam UU lain.
Wakil Ketua MK Arief Hidayat, memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk melihat kembali syarat netralitas bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan PNS. Menurut Arief, jabatan-jabatan yang diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 angka 3 yang berbunyi “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon” merupakan jabatan publik yang pengajuannya dilakukan melalui partai politik, sehingga tidak mungkin bagi PNS untuk mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut. (Ilham/mh)