Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) memberi keleluasaan pada pemerintah—dalam hal ini adalah eksekutif—untuk menentukan jenis PNBP selain yang ditentukan dalam ayat (1). Penentuan pilihan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak seperti yang ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Hukum UII Yogyakarta Ni`matul Huda ketika menjadi Ahli Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) selaku Pemohon dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (30/4) di Ruang Sidang MK.
“Keleluasaan pemerintah dalam menetapkan biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis penerimaan negara bukan pajak harus melihat aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat dan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya,” papar Ni’matul di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Mustaqiem menjelaskan aturan dalam Pasal 60 ayat (2) UU Telekomunikasi jauh dari rasa keadilan. Ia menuturkan apabila setelah wajib bayar melaksanakan kewajibannya membayar kontribusi pelayanan universal, kemudian jumlah yang dibayarkan tidak diperhitungkan untuk mengurangkan penghasilan untuk wajib bayar sebagai subjek pajak, maka akan terjadi pembayaran ganda yang dilakukan oleh wajib bayar, yaitu bayar pajak penghasilan dan bayar kontibusi pelayanan universal. “Maka ketentuan hukum yang menimbulkan kewajiban pembayaran pajak ganda oleh masyarakat adalah jauh dari rasa keadilan,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan kehendak Pasal 23A UUD 1945 yaitu pajak dan kebutuhan lain yang sifatnya memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-undang. Hal ini berguna dalam bidang telekomunikasi khususnya untuk penentuan besarnya persentase tarif pemungutan negara kepada masyarakat harus ditetapkan dalam UU Telekomunikasi, seperti halnya dalam bidang pajak. “Maka tidak sepenuhnya pengaturan persentase tarif pungutan diserahkan melalui produk hukum yang dinamakan peraturan pemerintah,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPB serta Pasal 16, Pasal 26 dan pasal 34 UU Telekomunikasi. Menurut Pemohon, kedua undang-undang tersebut adalah dasar hukum bagi Pemerintah melakukan pungutan bukan pajak. Pradnanda menjelaskan ada tiga penerimaan yakni Universal Service Obligation, biaya penyelenggaran telekomunikasi dan frekuensi.
“UU ini mengamanatkan kepada Pemerintah untuk diatur lebih lanjut dengan PP No. 7/2009 yang berlaku kepada Kementerian Komunikasi dan Telekomunikasi. Ketiga pungutan tersebut PNBP, tapi tidak diatur secara tegas nominal angkanya. Ternyata nominal angka diatur dalam lampiran. Hal ini tidak menunjukkan ketidakpastian hukum karena tidak diatur undang-undang, namun di PP, itupun hanya melalui lampiran,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)