Para pelajar SMK Negeri 2 Pati, Jawa Tengah berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/4) pagi. Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Abdul Ghoffar di aula Gedung MK. Pada kesempatan itu Ghoffar menjelaskan antara lain mengenai kedudukan lembaga negara serta kewenangan maupun kewajiban MK.
Ghoffar mengatakan, sebelum terjadi perubahan UUD 1945, di Indonesia terdapat lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Sistem tersebut menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berada pada posisi yang sederajat.
Saat itu, bila terjadi perselisihan atau sengketa antarlembaga negara secara teori dimediasi oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun pada praktiknya ketika ada sengketa antarlembaga negara mediasi itu tidak dilakukan. Sebab MPR adalah lembaga yang dua per tiga anggotanya berasal dari penunjukkan dan pengangkatan oleh presiden. Sedangkan sisanya sebanyak sepertiga anggota MPR diisi dari hasil Pemilu yang kerap kali dimenangkan partai penguasa saat itu.
Setelah perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan di Indonesia menjadi horizontal fungsional, bukan vertikal hierarkis. MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan sederajat dengan lembaga negara lainnya. Karena posisi antar lembaga sudah sederajat, ketika ada sengketa di antaranya, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang menengahi. Pada kondisi tersebut diperlukan lembaga independen yang berwenang menengahi perselisihan antar lembaga negara lewat kewenangannya memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi.
Selain memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, MK berwenang menguji UU terhadap UUD yang hal ini merupakan kewenangan utama MK. Kewenangan MK berikutnya, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) termasuk PHPU pemilukada. Sedangkan kewajiban MK, memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Pada pertemuan itu, Ghoffar juga menyinggung mengenai Teori Kedaulatan Rakyat dan Teori Kedaulatan Hukum. Negara Indonesia, paling sedikit menerapkan teori-teori seperti itu. Dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Turunan dari Kedaulatan Rakyat dikenal dengan demokrasi yang mengutamakan mayoritas: satu orang, satu suara, satu nilai.
“Sebagai seorang guru misalnya, nilai suaranya sama dengan siswa-siswa. Seorang profesor, ketika mencoblos ke TPS, nilai suaranya sama dengan tukang ojek dan lainnya. Inilah kelemahan dari demokrasi. Karena sama, ada fakta bahwa tirani mayoritas tidak bisa dihilangkan. Kaum mayoritas bisa melakukan tindakan tirani kepada kaum minoritas,” imbuh Ghoffar.
Berbeda dengan Kedaulatan Hukum yang menyebutkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. “Mengenai Kedaulatan Hukum yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,” ucap Ghoffar. (Nano Tresna Arfana/mh)