Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar siding lanjutan Perkara Pengujian Undang-Undang Hortikultura yang dimohonkan oleh tiga petani buah dan sayur serta Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura, Kamis (24/4). Pada sidang kali ini Para Pemohon menghadirkan saksi dan ahli untuk menguatkan dalilnya tentang adanya kesalahpahaman pembuat UU Hortikultura yang memasukkan sektor perbenihan dalam ketentuan pembatasan modal asing sehingga penanaman modal asing dalam perbenihan dibatasi hanya 30 persen saja.
Rastono, seorang petani hortikultura (buah-buahan/sayur-sayuran) dari Desa Sumur Adem Kabupaten Indramayu hadir sebagai saksi Pemohon. Rastono menjelaskan pada awalnya ia bertani menggunakan bibit yang dibuatnya sendiri dari biji tanaman yang sudah tua. Dari hasil benih yang ia buat sendiri itu Rastono mengaku tidak memeroleh hasil panen yang maksimal. Kurangnya pembinaan dan tersedianya bibit unggul menyebabkan perkecambahan tanamannya kurang maksimal bahkan setelah tumbuh sangat rentan terkena virus.
Namun, usai mengikuti pelatihan atas ajakan seorang penyuluh, Rastono mengaku mendapatkan bibit unggul yang membuahkan hasil panen maksimal. Menurut Rastono, bibit unggul yang ia pakai merupakan benih impor. Rastono pun menyampaikan perbedaan kualitas benih dengan benih impor yang sudah pernah ia tanam. Benih berkualitas yang kebanyakan hasil impor menurut Rastono memiliki keuntungan 40 sampai 50 persen disbanding benih lokal.
Selain mendatangkan saksi, pada siding kali ini para Pemohon juga menghadirkan Guru Besar Pertanian IPB sekaligus Mantan Menteri Pertanian era Kabinet Gotong Royong (2001-2004), Bungaran Saragih. Ia mengatakan selain dampak negatif yang diciptakan, Revolusi Hijau juga memiliki arti penting untuk kelangsungan hidup manusia di seluruh dunia, terutama bagi rakyat di Benua Afrika dan Asia.
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi dalam budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an. Dengan adanya Revolusi Hijau Negara-negara berkembang dapat mencapai swasembada pangan. Di Indonesia, Revolusi Hijau-pun pernah mengantarkan Indonesia sebagai negara yang mencapai swasembada beras.
“Tanpa revolusi hijau, tanpa modernisasi pertanian, sebagian besar penduduk di Afrika dan di Asia barangkali sudah tidak ada lagi. Kalau kita mau pertahankan cara bertani yang diwariskan oleh nenek moyang kita, tidak akan mampu menjawab tantangan peningkatan kebutuhan pangan karena peningkatan penduduk dan juga peningkatan pendapatan. Kita menghormati yang lalu tapi tidak bisa kita pakai cara yang lalu untuk menyelesaikan masa sekarang dan masa yang akan datang. Kelaparan bisa kita cegah adalah karena benih, benih yang unggul, benih yang modern, benih yang dihasilkan dengan teknik-teknik yang menggunakan ilmu dan teknologi yang terus berkembang, teknologi yang lebih baik,” jelas Bungaran.
Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan individu, tanaman hortikultura menjadi sangat penting nilainya. Bila pada awal kemerdekaan rakyat Indonesia lebih membutuhkan tumbuhan penghasil karbohodrat seperti padi-padian, saat ini ketika masyarakat semakin mapan maka kebutuhan serat, vitamin, dan mineral pun meningkat. Kebutuhan serat, vitamin, dan mineral paling banyak terdapat pada tanaman hortikultura. Oleh karena itu, benih hortikultura juga harus berupa benih unggul yang dapat memastikan tercukupinya kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini.
“Kalau kita salah membuat kebijakan dalam perbenihan ini maka kita akan kesulitan, kita akan menjadi pasar yang luar biasa bagi negara lain dan kita menjadi tidak mandiri nampaknya. Kalau salah policy dengan melarang penanaman modal asing atau hanya 30 persen sama dengan melarang sebenarnya. Mereka hengkang (penanam benih modal asing, red) , mereka pergi Vietnam ke Kamboja, kita nanti pengimport benih. Kalau pengimport benih masih mending, kalau kita menjadi pengimport produk akhir itu yang luar biasa buruknya,” tukas Bungaran khawatir. (Yusti Nurul Agustin)