Ketua Dewan Etik Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menjadi narasumber Diklat Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Legislatif 2014 bagi Pengacara Konstitusi, Rabu (23/4) sore di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Materi yang disajikan berjudul “Independensi dan Imparsialitas Lembaga Peradilan”.
“Prinsip independensi dalam arti tidak dapat diintervensi, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya dari pihak-pihak luar, apakah itu pemerintah, DPR atau pengusaha. Itu yang harus dijaga,” ujar Abdul Mukthi Fajar yang didampingi anggota Dewan Etik Hakim Konstitusi, Hatta Mustafa.
Sedangkan imparsialitas memiliki arti tidak memihak. Menurut Mukthie, independensi dan imparsialitas merupakan dua prinsip yang menjadi kode etik para hakim konstitusi. Dikatakan Mukthie, “Prahara MK” Oktober 2013 menyebabkan masyarakat Indonesia cenderung meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi (MK).
“Apakah tatkala MK menangani perkara perselisihan hasil Pemilu 2014 masih dapat dipercaya? Ini tentu pertanyaan yang berat untuk menjawabnya, tidak perlu dengan kata-kata, pernyataan atau orasi, tetapi hanya diwujudkan dalam tindakan, perilaku, dan putusan-putusan yang cukup memenuhi rasa keadilan. Syukur-syukur bisa membuat putusan yang brilian yang dikenal pada dekade pertama MK,” papar mantan hakim konstitusi ini kepada para peserta.
Mukthi menambahkan, prahara yang menimpa MK seolah menghapus semua prestasi gemilang MK selama satu dekade (2003-2013) sebagai peradilan yang modern dan terpercaya. Respons emosional dan tergesa-gesa dari Presiden/Pemerintah yang didukung oleh lembaga negara lainnya dengan menerbitkan Perppu No. 1/2013 dengan dalih menyelamatkan MK, justru terkesan campur tangan yang terlalu jauh. Bahkan seolah-olah ada “grand design” untuk “men-downgrade” MK yang putusan-putusannya sering membuat gerah berbagai kalangan.
Pasca kasus tersebut, MK melakukan “self recovery”. Selain membatalkan UU No. 2/2014 yang berasal dari Perppu No. 1/2013, MK membentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi lewat Peraturan MK No. 2/2013 yang diganti dengan Peraturan MK No. 2/2014 tentang Majelis Kehormatan MK. Dewan Etik Hakim Konstitusi bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi.
“Dewan Etik Hakim Konstitusi memiliki kewenangan memeriksa dan memutus laporan pengaduan masyarakat dan informasi media terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi serta pelanggaran terhadap UU MK mengenai larangan dan kewajiban hakim konstitusi,” ucap Mukthie.
Dijelaskan Mukthie, apabila terbukti ada pelanggaran ringan, Dewan Etik Hakim Konstitusi berwenang menjatuhkan sanksi teguran lisan. Namun jika pelanggaran bersifat berat, Dewan Etik Hakim Konstitusi merekomendasikan pembentukan Majelis Kehormatan MK dan usul pemberhentian sementara hakim konstitusi.
“Kemudian jika hakim konstitusi tidak terbukti melakukan pelanggaran, Dewan Etik Hakim Konstitusi maupun Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi merehabilitasi hakim konstitusi yang bersangkutan,” imbuh Mukthi. (Nano Tresna Arfana/mh)