Pada masa tahun 60-an para pengacara banyak menyuarakan rule of law di Indonesia. Rule of law adalah salah satu esensi demokrasi.
“Karena itu Mahkamah Konstitusi memandang penting untuk mengundang para pengacara dalam rangka ikut mengawal pelaksanaan Pemilu 2014. Bukan hanya pemilu, tapi juga mengawal proses demokrasi,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat menyampaikan sambutan pada pembukaan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Pengacara Konstitusi, Rabu (23/4) sore di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
“Seringkali pengacara memiliki ide yang bagus untuk mengoreksi undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Misalnya, dengan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” tambah Hamdan.
Hamdan melanjutkan, tahun 2014 merupakan tahun yang penting dalam proses demokrasi dan politik di Indonesia.
“Baru saja kita menyaksikan proses pemungutan suara pada 9 April 2014 lalu yang berlangsung tertib, aman dan damai. Penyelenggaraan pemilu yang tertib, aman dan damai adalah salah satu indikator yang membuat kita optimis bisa melewati proses demokrasi dengan baik. Walaupun masih banyak tahap lain yang nanti harus kita selesaikan,” urai Hamdan.
Dikatakan Hamdan, melihat sejarah perjalanan bangsa Indonesia terdapat pengalaman yang cukup banyak dalam melaksanakan demokrasi. Berbagai model demokrasi pernah diterapkan Indonesia, antara lain masa demokrasi liberal pada tahun 50-an, benar-benar suasana demokrasi liberal dipraktikkan dan dinikmati.
“Namun demokrasi liberal tersebut membawa dampak dalam beberapa segi, termasuk dampak negatif. Demokrasi liberal pada saat itu dipraktikkan secara bersama dengan sistem pemerintahan parlementer. Akibatnya, peluang untuk jatuh bangunnya pemerintahan menjadi sangat besar. Kestabilan pemerintahan sangat terganggu, gonta-ganti kabinet secara terus menerus,” kata Hamdan.
Oleh sebab itu, Presiden Soekarno mengubah demokrasi terhadap demokrasi yang bersendikan budaya bangsa Indonesia yang gotong royong. Soekarno menyebut demokrasi ini sebagai Demokrasi Terpimpin, harus semua teratur, bekerja, bersama-sama di bawah kepemimpinan yang terkomando. Demokrasi ini sebagai kebalikan dari Demokrasi Liberal, kebebasan dikurangi, siapa pun yang bertentangan dengan prinsip Demokrasi Liberal harus ditekan, bahkan dibubarkan.
Selanjutnya, ada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Menurut pandangan orde baru, terjadi penyimpangan-penyimpangan pemerintahan berdasarkan Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu UUD merupakan sesuatu yang sakral, tidak boleh diubah karena akan mengubah jalannya pemerintahan. Termasuk terjadinya penciutan jumlah partai politik karena tidak ada kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Beberapa tahun kemudian, terjadi reformasi politik di Indonesia pada 1998 seiring lengsernya Soeharto. Salah satu tuntutan reformasi, terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Selain itu ada tuntutan terhadap pemberantasan praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta pemisahan fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari pemerintahan. (Nano Tresna Arfana/mh)