Terhadap sejumlah permohonan yang diajukan terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia, Pemerintah menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berkompeten mengadilinya.
Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi yang mewakili pemerintah menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjadi kompetensi MK, karena permohonan yang diajukan merupakan saran kepada pembuat undang-undang agar kompetensi lembaga praperadilan diperluas, termasuk perpanjangan penahanan. “Hal itu tidak dapat diuji konstitusionalitasnya dan menjadi kompetensi legislatif. Substansi yang diajukan oleh pemohon sudah masuk dalam RUU KUHAP yang tengah dibahas di DPR,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (23/4).
Demikian halnya dengan Pasal 156 ayat (2), Pemohon meminta MK menghapuskan frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” menurut Pemerintah, hal tersebut bukan kompetensi MK, tetapi menjadi kompetensi pengadilan dan Mahkamah Agung. Pasalnya, Pemerintah berpendapat yang dipermasalahkan pemohon adalah terkait implementasi dari ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Sementara terhadap Pasal 1 angka 2 yang dinilai menimbulkan kesewenang-wenangan, Pemerintah berpendapat letak permasalahan bukan pada definisi istilah pasal tersebut tetapi berada dalam level interpretasi oleh aparat penegak hukum dan hakim dalam level penegakan hukum. Oleh karena itu, Pemerintah kembali menilai MK tidak berwenang mengadili, tetapi lebih tepatnya menjadi kompetensi hakim pada semua tingkatan pengadilan dan Mahkamah Agung.
Pada frasa “bukti permulaan yang cukup” pada Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bahwa pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang serta eksekusi yang dinilai multitafsir oleh Pemohon, menurut Pemerintah frasa tersebut harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif kecuali dalam hal keterangan saksi sebagai bentuk konstitusional bersyarat.
Selain itu, Pemerintah menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP pernah diuji di MK dengan register perkara No. 18/PUU-IV/2006 yang amar putusannya menyatakan “permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya”. Serta pada perkara No. 41/PUU-VIII/2010 yang amar putusannya menyatak “permohonan Pemohon tidak dapat diterima".
Sebelumnya, terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah mengajukan pengujian undang-undang terkait ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara dalam KUHAP. Diwakili Kuasa Hukum Pemohon Maqdir Ismail, Pemohon menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Pasal-pasal tersebut dianggap telah diberlakukan dalam proses pemidanaan kepada Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan, Pasal 77 huruf a UU yang sama diberlakukan kepada Pemohon dalam perkara praperadilan.
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Maqdir. (Lulu Hanifah/Yusti Nurul Agustin/mh)