Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Timur (DPP Apindo Jatim), Kamis (17/4). Pada sidang kali ini Pemohon menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Budinuryanta Yohanes yang menyatakan Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengandung banyak makna (multitafsir).
Sebelumnya, Pemohon memasalahkan bunyi Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Kedua pasal tersebut dianggap merugikan para pengusaha, termasuk Pemohon. Sebab, dalam kedua pasal tersebut terdapat ketentuan yang tidak pasti. Frasa “ berdasarkan kebutuhan hidup layak” dalam Pasal 88 ayat (4) misalnya, telah menyebabkan ketidakpastian hukum karena tiap tahun pengertian tersebut akan berubah. Kedua pasal yang dimasalahkan secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 88
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memerhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Pasal 89
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota
Terhadap kedua ketentuan tersebut, Yohanes menjelaskan terdapat redundansi (pengulangan) dalam kalimat di kedua pasal tersebut. Redudansi merupakan gejala penggunaan bahasa yang melebihi kebutuhan sehingga kerap disebut kelimpahan makna. Redudansi dapat terjadi ketika kata yang memiliki makna tertentu digunakan bersamaan dengan kata lain bermakna atau mengandung makna serupa.
Yohanes pun memberikan contoh terjadinya redudansi dalam suatu kalimat. Dalam kalimat “Bermacam jenis makanan tersaji di meja”, terdapat penggunaan kata “bermacam” dan “jenis” yang digunakan bersamaan sehingga mengakibatkan redudansi. Seharusnya, lanjut Yohanes, kalimat tersebut dapat diubah menjadi “Bermacam makanan tersaji di meja”.
Hal serupa pun terjadi dalam Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Yohanes mengatakan penentuan KHL (kebutuhan hidup layak) dilakukan berdasarkan survei pasar oleh Dewan Pengupahan kabupaten/kota melalui proses yang cukup rumit, teliti, dan akademik, serta melalui usaha-usaha yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, perhitungan KHL telah meliputi upaya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Agar tidak berkelimpahan makna, lanjut Yohanes, rumusan Pasal 88 ayat (4) tersebut seharusnya berbunyi, “Pemeritah menempatkan upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak.”
Harus Tegas
Dalam kesempatan itu, Yohanes juga mengatakan bunyi frasa/kalimat dalam suatu pasal harus menggunakan kata-kata yang lebih tegas maknanya. Dalam Pasal 89 ayat (3) terdapat kata “memperhatikan”. Kata tersebut tidak lagi bermakna mengamati, mencermati, atau mengawasi. Tetapi, kata “memperhatikan” tersebut seharusnya bermakna “berdasarkan”.
Dengan begitu, Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan jadi bermakna rekomendasi dari dewan pengupahan harus dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum dan tidak dijadikan sebagai objek pengamatan, pencermatan, atau pengawasan. “Oleh karena itu, penggunan frasa berdasarkan akan lebih tepat, tegas, dan khusus menciptakan makna gramatikal, ‘menggunakan dasar rekomendasi dari dewan pengupahan’. Sehingga rumusannya menjadi, ‘Upah minimum, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati/walikota’,” jelas Yohanes.
Sebelum menutup keterangannya, Yohanes mengingatkan agar produk hukum seperti undang-undang harus memiliki kepastian dalam operasionalisasinya. Oleh karena itu, rumusan pasal-pasal dan ayat-ayatnya harus terhindar dari rumusan yang menimbulkan multitafsir. (Yusti Nurul Agustin)