Aturan pemilihan umum kepala daerah yang tidak ditegaskan secara langsung seperti yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa pemohon tercatat sebagai pemohon uji materiil Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu tersebut, yakni Forum Kajian Hukum dan Konstitusi serta beberapa pemohon perseorangan.
Dalam sidang perdana yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Pemohon yang diwakili oleh Ryan Muhammad selaku kuasa hukum, mendalilkan dua pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. Pasal 56 ayat (1) UU Pemda menyatakan “Kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara, Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu menyatakan “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ryan menjelaskan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena tidak ditegaskan adanya frasa “dipilih secara langsung” dalam mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan hanya ditegaskan secara limitatif dengan frasa “dipilih secara demokratis”, sedangkan makna “dipilih secara demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih melalui mekanisme musyawarah/perwakilan bukan dipilih secara langsung seperti pemilihan Presiden/Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. “Kedua pasal tersebut tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum,” ujarnya pada sidang yang digelar pada Kamis (17/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, lanjut Ryan, norma tersebut juga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tersebut untuk Pemilu anggota legislatif, sedangkan Pemilu Kepala Daerah tidak termasuk didalamnya. Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah Pemilihan Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali secara serentak (nasional). “Sementara yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 adalah Pemilihan Kepala Daerah yang tidak dilakukan secara serentak sehingga hal tersebut menghalangi terwujudnya pemilihan yang demokratis berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah,” urainya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Aswanto memberikan saran perbaikan. Para hakim meminta agar pemohon memperkuat dalil terkait kedudukan hukum pemohon (legal standing) baik sebagai badan hukum privat maupun perseorangan. “Pemohon dirugikan apa secara konstitusional dengan adanya Pasal ini baik dalam perspektif Saudara sebagai badan hukum maupun perseorangan? Sebutkan berdasarkan Pasal 51 UU MK. Mengenai dalil, pemohon uraikan kembali kerugian permohonan dengan tidak diadakannya pilkada secara langsung seperti halnya pilpres,” sarannya.
Sementara Arief, meminta agar Pemohon melihat kembali Putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004 pernah memutus tentang pasal yang sama. “Pemohon akan lebih baik jika melihat kembali perkara yang pernah diputus MK soal ini dan mengemukakan alasan berbeda,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)