Sejumlah hakim ad hoc yang merupakan Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memperbaiki permohonannya dalam sidang lanjutan yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat.
Pemohon yang diwakili Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Makassar Sumali memperbaiki hal-hal formal dalam permohonan yang belum dipenuhi, salah satunya terkit kewenangan MK. “Kemudian dalam posita yang berkaitan dengan elaborasi tentang pejabat negara sesuai saran majelis, ada pendapat dari Prof. Jimly dan pendapat pakar lain yang kita masukan,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 32/PUU-XII/2014 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (17/4).
Sebelumnya, sebelas orang hakim ad hoc yang tersebar di seluruh Indonesia menilai UU Aparatur Sipil Negara imperfect karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif, sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif dan sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam Pasal yang diujikan, hakim ad hoc tidak termasuk pejabat negara. Dampaknya, menurut Pemohon, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
“Konsekuensi lain adalah apabila hakim ad hoc menerima gratifikasi dari para pihak yang berperkara, para hakim ad hoc tersebut tidak diwajibkan untuk lapor karena tidak termasuk dalam pejabat negara,” ujar Pemohon dalam sidang perdana, Senin (7/4) silam.
Lebih lanjut, imbuh Pemohon, secara kelembagaan eksistensi hakim ad hoc merupakan conditio sine qua non terhadap kebutuhan hukum dan konsekuensi dibentuknya pengadilan khusus sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Jabatan hakim adalah pejabat negara tanpa dibedakan asal rekrutmen ataupun pengisian jabatannya melainkan didasarkan atas fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,” tandasnya.
Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 berbunyi:
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara khususnya frasa “kecuali hakim ad hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. (Lulu Hanifah/mh)