Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra mengungkapkan rumusan Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sudah cukup jelas. Sayangnya, ketika diimplementasikan, norma tersebut justru ditafsirkan berbeda oleh Pemerintah.
Hal tersebut diungkap Saldi sebagai ahli Pemohon dalam pengujian Pasal 102 dan 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batuara (UU Minerba). Pasal 102 berisi norma yang mewajibkan Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan. “Ketentuan Pasal 102 tidak dapat dimaknai selain itu, karena norma tersebut jelas, tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain,” ujarnya dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (16/4).
Begitu juga dengan Pasal 103 UU Minerba yang berisi pembebanan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Pada prinsipnya, menurut Saldi, rumusan Pasal tersebut juga cukup jelas. Hanya saja, sambungnya, ketika diimplementasikan, norma tersebut justru ditafsirkan sebagai larangan menjadi bijih mineral ke luar negeri. Pemerintah secara resmi menerbitkan larangan itu melalui Peraturan Menteri ESDM No 7/2012.
“Tak berselang lama, kebijakan pelarangan tersebut diubah menjadi diperbolehkan menjual bijih mineral ke luar negeri setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Kemudian kebijakan tersebut diubah lagi dengan diperbolehkan menjual bijih mineral ke luar negeri sampai batas waktu 12 Januari 2014 menurut Permen ESDM No 20/2013. Fakta ini seakan membantah penilaian bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Minerba memiliki rumusan yang jelas,” imbuhnya dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva.
Saldi menekankan, norma yang tertuang dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba secara tekstual sudah jelas, tetapi norma tersebut menjadi tidak jelas atau kabur ketika Pemerintah keliru memahami dan menafsirkan ketentuan tersebut. Sebab, sangat tidak tepat, jika Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba ditafsirkan sebagai larangan penjualan bijih mineral ke luar negeri.
Larangan Tidak Rasional
Menyoroti hal yang berbeda, ekonom Faisal Basri menyatakan larangan ekspor merupakan kebijakan yang inferior. Kebijakan perdagangan luar negeri yang lebih superior bagi peningkatan kesejahteraan nasional adalah kebijakan yang berdasarkan mekanisme harga daripada kebijakan non price mechanism, seperti kuota atau larangan ekspor. “Larangan ekspor pasarnya tidak ada lagi, tidak ada respons dari pembeli dan penjual. Kebijakan non price mechanism, seperti larangan ekspor berpotensi besar memperburuk struktur pasar,” ujarnya.
Larangan ekspor bauksit, menurutnya otomatis menghentikan produksi karena belum ada pabrik pengolahan atau pabrik alumina. Pihak yang serta-merta diuntungkan dalam kondisi tersebut adalah pedagang bauksit dunia. “Karena apa? Tiba-tiba 55,1 juta ton pasokan bauksit dari Indonesia menghilang di pasar dunia, maka harga melonjak, pedagang sukacita,” sambungnya.
Faisal mengimbuhkan, pengusaha lokal tak bisa menghimpun dana dari penjualan bauksit. Mereka harus pinjam ke bank dengan bunga yang relatif tinggi. Pabrik alumina tidak akan serta-merta memiliki kapasitas produksi yang dapat mengolah seluruh potensi produksi bauksit di dalam negeri.
Mantan Dirjen Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Simon F. Sembiring menyatakan apabila suatu badan hukum telah memperoleh IUP operasi produksi dari Pemerintah maupun pemerintah daerah, semua persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangan dianggap telah terpenuhi.
Apabila suatu badan hukum sudah memiliki IUP dan memperdagangkan, Simon menilai badan hukum tersebut bebas mengekspor. Syaratnya perusahaan membayar royalti. Dengan demikian, terjadilah perpindahan kepemilikan dari Pemerintah, dari negara ke pengusaha. “Ketentuan ini menjamin adanya kebebasan bagi pemegang IUP/IUPK produksi, setelah membayar iuran produksinya untuk memiliki dan memperdagangkan hasil mineral yang telah diproduksinya. Hak ini terjadi secara hukum,” ujarnya.
Pasal 102 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan pemegang IUP dan IUPK meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Sementara pada Pasal 103 dinyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, pemegang IUP dan IUPK dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari IUP dan IUPK yang lainnya. “Artinya, undang-undang ini memberikan kesempatan kepada orang yang tidak punya tambang untuk membangun smelter dan pemurnian,” imbuhnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, yang memiliki IUP dan IUPK boleh menjual kepada siapapun untuk diolah dan dimurnikan. Sayangnya kini yang mempunyai IUP dan IUPK tidak mempunyai fasilitas pengolahan dan pemurnian. Sementara, investor baru pun belum membangun pemurnian dan pengolahan. “Pertanyaannya, apakah karena keadaan ini, lantas dilarang mereka untuk mengekspor produksinya? Dalam undang-undang ini tidak disebut begitu. Ini memang wajib dia untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Hal ini berarti IUP dan IUPK produksi dapat menjual produksinya,” tandasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) yang diwakili kuasa hukumnya, Refly Harun menilai pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor bijih (raw material) secara langsung yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujar Refly. (Lulu Hanifah/mh)