Sidang perbaikan permohonan aturan pemberian suara melalui pencoblosan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) digelar MK pada Senin (15/4). Calon Anggota Legislatif dari Provinsi Papua Isman Ismail Asso mengajukan permohonan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 31/PUU-XII/2014 tersebut.
Pada sidang kedua tersebut, Pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran majelis hakim konstitusi pada sidang sebelumnya. Pemohon mengubah dalil dengan menjelaskan bahwa ia merasa dirugikan dengan pemberlakuan frasa mencoblos pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. “Oleh karena Pemohon yang saat ini adalah sebagai calon anggota legislastif yang telah mengikuti pemilu legislatif ini merasa berkepentingan dengan frasa mencoblos ini. Karena dalam praktiknya di lapangan memang dilakukan juga sistem musyawarah mufakat, atau ikat suara, atau aklamasi dalam rangka memberikan suara kepada seorang calon,” ujarnya.
Selain itu, Pemohon menjelaskan dalam sistem ikat suara atau sistem noken, pemberian suara bisa saja diberikan lebih dari pada satu orang. Jadi, lanjut semisal kelompok suku atau masyarakat, atau klan ini bersepakat, misalnya mereka berjumlah 1.000 atau 700, mereka akan bisa sepakat kita akan berikan kepada calon dengan angka-angka yang sudah disepakati bersama.
“Jadi, kesepakatan itu tidak mesti harus kepada satu calon ya, tapi bisa bervariasi bergantung kepada kesepakatan mereka masing-masing dan ini dilakukan secara marga atau secara klan dan kemudian itu disampaikan kepada petugas oleh yang dituakan. Biasanya dalam praktik pemberian suara dengan sistem musyawarah mufakat ini dilakukan secara hikmat didahului dengan doa,” ungkapnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan cara pemberian suara hanya dengan cara mencoblos seperti tercantum dalam Pasal 154 UU Pileg bertentangan dengan 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 154 UU Pileg menyebutkan “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara”. Dalam praktik Pemilu di Indonesia, Pemohon menjelaskan, khususnya di beberapa Kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua, pemberian suara pada Pemilu tidak dilakukan dengan pencoblosan/pencontrengan melainkan dengan sistem ikat suara atau aklamasi atau kesepakatan yang dikenal dengan nama sistem noken. Padahal, lanjut Pemohon, dalam sejumlah perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Papua, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin oleh UUD 1945.
Hal ini menjadi masalah di masyarakat karena ketentuan formal dalam Pasal 154 UU Pileg dan Peraturan Teknis Komisi Pemilihan Umum secara tegas menyatakan pemberian suara pada pemilihan umum legislatif dilakukan dengan cara mencoblos sehingga KPU Provinsi Papua menolak untuk menerima pemberian suara dengan sistem noken pada Pemilu legislatif yang akan datang. Menurut Pemohon, Pembuat Undang-Undang dan Penyelenggara Pemilu tidak boleh melanggar pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 18B UUD 1945. Untuk itulah, Pemohon meminta kepada MK agar pemberlakuan frasa “mencoblos” pada Pasal 154 UU Pileg konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). (Lulu Anjarsari/mh)